Pages

Rabu, 17 April 2013

PTSD Post Traumatic Stress Disorder

I.       Pengertian PTSD
PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami seseorang setelah melihat atau melalui peristiwa hidup yang berbahaya.
Gangguan stres pasca trauma (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang terjadi akibat peristiwa traumatis. Menurut American Psychiatric Association (2000),tiga cluster gejala PTSD yaituRe-experiencing symptoms, Avoidance symptoms, dan Hyperarousal symptoms. Lamanya gejala harus lebih dari satu bulan dan gangguan harus menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan fungsi (American Psychiatric Association, 2000).
Ketika dalam bahaya, wajar untuk merasa takut.Ketakutan ini memicu banyak perubahan sepersekian detik dalam tubuh untuk mempersiapkan diri untukbertahandalam bahaya atau untuk menghindarinya.Reaksi "fight-or-flight" iniadalah reaksiwajaryang dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari bahaya.Namun dalam PTSD, reaksi ini berubah atau rusak.Orang yang memiliki PTSD mungkin merasa stres atau ketakutan bahkan ketika mereka tidak lagi dalam bahaya.
II.    Gejala PTSD
PTSD dapat menyebabkan banyak gejala. Gejala ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
1.      Re-experiencing symptoms:
        Kilas balik- mengenangtrauma berulang-ulang, termasuk gejala fisik seperti detakjantung cepat atau berkeringat
        Mimpi buruk
        Pikiran menakutkan.
Re-experiencing symptoms dapat menyebabkan masalah dalam rutinitas sehari-hari seseorang.Mereka bisa mulai dari pikiran dan perasaan orang itu sendiri.Kata-kata, benda, atau situasi pengingatkejadian juga bisa memicuRe-experiencing.
2.      Avoidance symptoms:
        Tinggal jauh dari tempat, peristiwa, atau benda pengingat dari pengalaman
        Merasa mati rasa secara emosional
        Merasa bersalah yang kuat, depresi, atau khawatir
        Kehilangan minat dalam kegiatan yang menyenangkan di masa lalu
        Memiliki kesulitan mengingat peristiwa berbahaya.
Hal-hal yang mengingatkan orang dari peristiwa traumatik dapat memicu Avoidance symptoms.Gejala-gejala ini dapat menyebabkan seseorang untuk mengubah rutinitas pribadinya.Sebagai contoh, setelah kecelakaan mobil yang parah, orang yang biasanya mengemudi mungkin menghindari mengemudi atau mengendarai mobil.
3.      Hyperarousal symptoms:
        Menjadi mudah terkejut
        Merasa tegang atau gelisah
        Mengalami kesulitan tidur, dan / atau memiliki ledakan kemarahan.
Gejala hyperarousal biasanya konstan, bukannya dipicu oleh hal-hal yang mengingatkan salah satu peristiwa traumatis.Mereka bisa membuat seseorang merasa stres dan marah.Gejala-gejala ini dapat membuat sulit untuk melakukan tugas-tugas sehari-hari, seperti tidur, makan, atau berkonsentrasi.
Wajar memiliki beberapa gejala tersebutsetelah peristiwa berbahaya.Kadang-kadang orang memiliki gejala yang sangat serius yang hilang setelah beberapa minggu.Ini disebut gangguan stres akut, atau ASD.Ketika gejala berlangsung lebih dari beberapa minggu dan menjadi masalah yang berkelanjutan, mereka mungkin PTSD.Beberapa orang dengan PTSD tidak menunjukkan gejala selama beberapa minggu atau bulan.
Untuk dapat didiagnosis dengan PTSD, seseorang harus memiliki semua hal berikut untuk setidaknya 1 bulan:
        Setidaknya satu gejala Re-experiencing symptoms
        Setidaknya tiga Avoidance symptoms
        Setidaknya dua Hyperarousal symptoms
        Gejala yang membuatnya sulit untuk pergi menjalani kehidupan sehari-hari, pergi ke sekolah atau bekerja, pergidengan teman-teman, dan mengurus tugas-tugas penting.

III.    Memahami Post-Traumatic Stress Disorder dakam artian Cognitive-Behavior

·         Faktor behavior
Konsep behavioral terhadap PTSD ini didasarkan pada dua faktor teori kecemasan milik Mowrer (1960).Berdasarkan model ini, kecemasan dan emosi-emosi lain yang terjadi selama traumatic terhubung di dalam pikiran sampai pandangan, suara, dan sensasi-sensasi lain pasien yang muncul selama kejadian. Proses ini adalah bentuk dari Classical Conditioning. Pandangan, suara, dan sensasi-sensasi lain tersebut kemudian menjadi tanda-tanda yang menyebabkan timbulnya kecemasan ketika ia mengalami hal itu di kemudian hari.
Tanda-tanda yang bisa mendatangkan kecemasan meningkat setiap waktu, terdapat 2 proses; (1) generalisasi, untuk tanda-tanda yang serupa sampai dengan tanda asli yang mulai menimbulkan kecemasan. (2) higher-order conditioning, untuk sebuah tanda yang yang asalnya netral mulai menimbulkan kecemasan karena telah dihubungkan dengan kecemasan yang dicetuskan oleh tanda-tanda lain. Contohnya, perempuan korban pemerkosaan ketika berjalan pulang sendiri di malam hari mungkin mulai meras atakut, tidak hanya karena ia berada diluar malam hari sendirian (tanda semula), tetapi juga ditempat gelap manapun (generalisasi). Ia juga mungkin takut untuk mengunjungi terapisnya, tempat dimana ia menceritakan tentang pemerkosaan (higher-order condition).
Bagian kedua dari two-factor theory melibatkan pengabaian. Karena tana-tanda yang mengingatkan kembali kejadian yang mendatangkan kecemasan, ia akan mencoba untuk mengabaikannya. Ketika sebuah tanda diabaikan,tingkat kecemasan seseorang akan berkurang.penurangan kecemasan tersebut sebagai cara untuk memungkinkanmenghindari tanda yang akan terjadi di masa depannya. Ini adalah bentuk dari operant conditioning.Pengabaian tersebut menjadi semakin sering dijadikan coping strategy, karena tanda-tanda yang ditolak tersebut menjadi ditekan lebih dalam, seperti pemikiran/emosi. Alcohol atau obat-obatan sering digunakan sebagai cara untuk menolak tanda-tanda internal, dan dipastikan cara ini merupakan penyalahgunaan dan dapat menyebabkan ketergantungan.
·         Factor kognitif
Model behavior memberikan penjelasan untuk kedua pengalaman yang diulang dan symptom penolakan dari PTSD.Bagaimanapun, telah dikritik sebagai kelemahan pada laporan yang cukup untuk alternative pengulangan diantara pengalaman yang diulang dan penolakan atau ketakutan yang biasanya terlihat dalam gangguan, atau ketekunan untuk membangkitkan emosi yang berlebih. Juga kegagalan pada laporan untuk mengubah perasaan terhadap pengertian beberapa laporan pasien PTSD (Foa &  Riggs, 1994). Foa dan rekannya telah mengajukan sebuah model PTSD yang menggabungkan unsur-unsur dari model cognitive-behavior. Mereka mengusulkan bahwa ketika seseorang mengalami trauma, rasa takutnya terstruktur di memori, konsisten dengan 3 unsur: (1) stimulus (pandangan, suara, dan sensasi lain yang berhubungan dengan kejadian); (2)r espon (psikologis dan reaksi emosinya terhadap kejadian) dan (3) arti yang berhubunagn dengan stimulus dan respon. Struktur ketakutan ini adalahprogram untuk membentuk bahaya.Seperti model behavioral, model milik Foa mengusulkan bahwa tanda-tanda yang berhubunagn dengan trauma struktur ketakutannya menjadi aktif dan menyebabkan pengalaman yang diulang oleh memori dan respon, dan membimbing usaha untuk menghindari tanda-tanda seperti itu.

Bagaimanapun, model milik Foa juga menekankan pentingnya memberi arti elemen-elemen struktur ketakutan tersebut. Kejadian traumatic yang sering mengganggu biasanya diasumsikan dan diberi skema-skema: (1) “dunia itu aman”, (2) “kejadian apapun dapat diprediksi dan dapat dikontrol”, (3) “kejadian-kejadian negative tidak akan terjadi kepada saya”, dan (4) “saya bisa mengatasi kejadian apapun”. Dalam pemeliharaan dengan teori Piaget, Foa mengusulkan ketika kejadian yang dialami bertentangan dengan skema dasar, dimana kebiasaan memiliki dorongan alami untuk membuat pengalaman.Jika makna yang terkait dengan trauma tidak berasimilasi dengan skema yang ada, (“kejadian mengerikan bisa terjadi begitu saja”, “apapun bisa terjadi pada saya”, dan “saya mungkin tidak mampu menghindar) aka nada kebutuhan untuk merevisi skema-proses yang disebut ‘akomodasi’.Apa yang membuat pengolahan trauma kognitif ini sulit untuk orang yang mengalami PTSD adalah kenyataan bahwa mengaktifkan makna elemen dari struktur ketakutan juga mengaktifkan unsure-unsur respons. Karena merasakan emosi yang luar biasa, seseorang kemudian mencoba untuk berhenti berpikir tentang kejadian masa lalu. Pengabaian ini akan memblok proses asimilasi dan akomodasi. Pola kemudian berkembang antara upaya untuk mengasimilasi (yang mengarah ke pengalaman yang diulang), dan upaya untuk menghindari ingatan dan emosi negative. Menurut model Foa, ketegangan antara kebutuhan untuk menemukan makna dan perkunya kebutuhan untuk menghindar membuat seseorang membangkitkan emosi yang berlebih.

0 komentar:

Posting Komentar