Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 29 September 2013

konversi Agama dalam Psikologi Agama

   A.   Pengertian konversi agama
Konversi agama menurut etimologi konversi berasal dari kata lain “Conversio” yang berarti: tobat, pindah, berubah (agama) pengalihan, perubahan, pergantian. Selanjutnya, kata tersebut dipakai dalam kata Inggris Conversion yang mengandung pengertian: berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another).
Pada umumnya pengertian konversi agama secara terminology dapat diartikan sebagai berubah agama atau masuk agama. Menurut pengertian ini, akan dikemukakan pendapat ahli psikologi mengenai pengertian konversi agama, adalah
1.      Max Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
2.      W.H.Clark mendefinisikan konversi agama merupakan sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindakan agama.
3.      William James mengatakan, konversi agama merupakan berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang dilakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kurang bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama.
4.      Thouless menyatakan, bahwa konversi agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan, proses itu biasa terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba.
5.      Coe menyebutkan bahwa konversi adalah realisasi diri dengan suatu medium social. realisaisi diri berarti ada pribadi atau diri yang baru, sedangkan medium social berarti konversi menjadikan social sebagai medium untuk mengadopsi pemahaman keagamaan tertentu. dan konversi agama diartikan sebagai reorientasi diri, menurut Coe, konversi mempunyai 4 kriteria utama :
·         Konversi adalah perubahan utama di dalam diri dan pribadi manusia
·         Perubahan tersebut tidak berkaitan dengan kematangan, tetapi lebih banyak beurusan dengan masalah pengambilan keputusan, baik yang mendadak atau bertahap, untuk menerima perspektif lain dimana pribadi baru tersebut ditemukan.
·         Perubahan kepribadian dan diri tersebut merupakan perubahan pola hidup seseorang (fokus perhatian, minat dan tindakan yang betul betul baru).
·         Perubahan baru tersebut terlihat lebih luhur atau sebagai suatu emansipasi atau pembebasan dari dilema hidup terdahulu atau kehidupan yang kurang berharga.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa konversi agama merupakan:
1.      Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
2.      Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan, sehingga perubahan tersebut dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
3.      Perubahan tersebut tidak hanya berlaku bagi pemindahan kepercayaan dari satu agama ke agama lain, akan tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.
4.      Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan, maka perubahan itu pun disebabkan oleh faktor petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

B.   Jenis-jenis konversi
Menurut Spilka (Gazi,2010) ada 2 jenis konversi agama yaitu konversi agama mendadak, dan konversi agama bertahap, Berikut ciri konversi agama mendadak :
a.       Perubahan secara drastis (Type Self Surrender)
  Yaitu konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan tersebut dapat terjadi dari kondisi tidak taat menjadi taat, dari tidak kuat keimanannya menjadi kuat keimanannya, dari tidak percaya kepada suatu agama menjadi percaya. Pada konversi jenis ini, menurut para ahli terdapat pengaruh petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa terhadap seseorang. Sebab, gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuhnya. Dengan kata lain, konversi tipe ini merupakan hidayah atau petunjuk dari Tuhan.
Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama tersebut menurut tinjauan para psikolog adalah berupa pembebasan diri dan tekanan batin, berikut ciri-ciri konversi mendadak
1.      Bersifat pasif orang yang mengalami konversi tiba tiba merasa berada dalam suatu kekuatan atau kekuatan lain yang berpengaruh kuat terhadap dirinya.
2.      Kekuatan lain tersebut membuatnya tunduk dan patuh serta menerimanya. Tanpa penerimaan terhadap kekuatan lain tersebut, konversi agama tidak akan pernah terjadi.
3.      Persasaan berdosa dan bersalah yang sangat kuat dalam hal ini,konversi merupakan solusi untuk menghadapi perasaan di bebani dosa dan salah.

b.      Perubahan secara bertahap (Type Valitional)
Yaitu konversi yang terjadi secara berproses, sedikit demi sedikit, hingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian ini sebagian besar terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran. Tipe ini dengan motivasi aktif dari pelaku dan intelektual rasional yang lebih berperan, berikut ciri-cirinya :
1.      Pencarian makna tujuan hidup dengan cara yang aktif hal ini berkaitan dengan perjuangan dan usah sadar seseorang untuk mencari jalan keluar lain.
2.      Pencarian makna hidup dan tujuan hidup dengan cara yang aktif. Hal ini berkaitan dengan perjuangan dan usaha sadar seseorang untuk mencari jalan keluar bagi berbagai persoalan pribadi dan kolektif.
3.      Orang yang mengalami konversi secara bertahap akan memperdalam agama dan keyakinan yang dia terima secara terus menerus dan progresif

C.   Proses konversi
Proses yang dilalui oleh orang-orang yang mengalami konversi, berbeda antara satu dengan lainnya, selain sebab yang mendorongnya dan bermacam pula tingkatnya, ada yang dangkal, sekedar untuk dirinya saja dan ada pula yang mendalam, disertai dengan kegiatan agama yang sangat menonjol sampai kepada perjuangan mati-matian. Ada yang terjadi dalam sekejap mata dan ada pula yang berangsur-angsur.
Menurut M.T.L Penido berpendapat, bahwa proses konversi agama mengandung unsur:
1.   Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dari pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih. 
2.   Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang datang dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran, mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan pnyelesaian oleh yang bersangkutan.
Kerangka proses konversi agama berikutnya yang dikemukakan oleh H. Carrier, membagi proses tersebut dalam tahapan sebagai berikut:
1.   terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat darikisis yang dialami. 
2.   Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru, maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur lama. 
3.   Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya. 
4.   timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.

Sedangkan menurut Dr. Zakiah Daradjat. Memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu: 
1.   Masa tenang. Disaat ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang, karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Dimana segala sikap, tingkah laku, dan sifat-sifatnya acuh tak acuh menentang agama.
2.   Masa ketidaktenangan. Tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Dikarenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang dialaminya. Hal ini menimbulkan keguncangan dalam kehidupan batinnya, sehingga mengakibatkan kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa dan bimbang. konflik jiwa yang berat itu menyebabkan orang lebih sensitif (mudah perasa, cepat tersinggung dan mudah kena sugesti). Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya. 
3.   Masa konversi. Masa ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan, karena kemantapan batin dalam menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk illahi. 
4.   Masa tenang dan tentram. Masa tenang dan tentram ditimbulkan oleh kepuasaan terhadap keputusan yang diambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. 
5.   Masa ekspresi konversi. Pengungkapan konversi agama dalam tindak tanduk, kelakuan, sikap dan perkataan, dan seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti aturan-aturan yang diajarkan oleh agama. Itulah yang akan membawa tetap dan mantapnya perubahan keyakinan tersebut.
Menurut Wasyim (dalam Sudarno, 2000) secara garis besar membagi proses konversi agama menjadi tiga, yaitu:
1.   Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya gap antara seseorang yang beragama dengan Tuhan yang di sembah. Ditandai dengan adanya konflik dan perjuangan mental aktif. 
2.   Adanya rasa pasrah 
3.   Pertumbuhan secara perkembangan yang logis, yakni tampak adanya realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya.
Menurut Loflan dan Stark (Gazi 2010), menggambarkan proses penyebab yang mendasari seseorang mengalami konversi, proses tersbut lebih bersifat kualitiatif bukan sebab akibat dan tidak disajikan dalam model empirik, dan mungkin tidak cocok untuk semua jenis konversi agama, keduanya berpendapat bahwa konversi merupakan proses dari berbagai fenomena yang dapat diidentifikasi dan saling berhubungan satu sama lain. Ada 7 faktor:
            3 faktor pertama faktor presdiposisi:
·         Pengalaman tertekan atau ketidakpuasan
·         Pengalaman terteekan tersbut ditafsirakn dalam perspektif agama
·         Dialami oleh orang-orang yang mempersepsikan diri meraka sebagai pencari tuhan yang aktif.
4 faktor berikutnya faktor situasi :
·         Bertemu degnan tokoh suci pada satu titik krisis di dalam hidup
·         Ada kelekatan afeksi atau perasaan yang kuat terhadap salah saatu atau lebih orang beriman yang memiliki komitmen agama yang kuat.
·         Di kombinasikan dengan kontak yang sedikti degnan kaum yang tidak beriman
·         Jika interaksi yang intensif berlangsung diantara pencari tuhan dengan kaum berimana terus terjadi maka besar kemungkinan konversi akan terjadi.


D.   Faktor-faktor konversi agama
Adapun para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah factor psikologis yang dapat ditimbulkan oleh factor intern maupun ekstern. Factor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menumbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan batin seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang terang dan tenteram. sehingga konversi agama dibaca sebagai pembebasan diri dari tekanan batin yang timbul dari dalam diri (intern) maupun lingkungan (ekstern).
a.       Faktor intern:
·         Kepribadian, secara psikologis tipe kepribadian tertentu dapat mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang. Seperti halnya orang yang tipe melankolis biasanya tingkat emosional lebih mendalam, sehingga mudah sensitive dan mudah kena sugesti, yang dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya.
·         Pembawaan (hereditas), menurut penelitian Guy E. Swanson bahwa ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. . Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin. Sementara anak yang dilahirkan pada urutan tengah atau antara sulung dan bungsu sering mengalami stres jiwa.

b.      Faktor ekstern:
·         Faktor keluarga, berbagai permasalahan yang terjadi didalam keluarga entah itu ketidakharmonisan, berlainan agama, atau juga kurangnya mendapatkan pengakuan dari kerabat dan lainnya, kondisi tersebut dapat menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya.
·         Lingkungan tempat tinggal, yakni kondisi orang yang merasa terlempar dari tempat tinggalnya dan hidup sebatang kara, menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempar untuk bergantung hingga kegelisahan batinnya hilang.
·         Perubahan status, yakni orang yang secara mendadak mengalami perubahan status, misalnya perceraian, dikeluarkan dari sekolah, perubahan pekerjaan, banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
·         Kemiskinan, kondisi social ekonomi yang sulit juga merupakan factor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama.
Sedangkan menurut William James dan Max Heirich mengemukakan pendapat bahwa konversi agama disebabkan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni. Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk Illahi. Pengaruh supernatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok. Namun demikian, terasa sulit untuk membuktikan secara empiris tentang faktor ini, walau kita mempercayai bahwa petunjuk Illahi memegang peran penting dalam perubahan perilaku keagamaan seseorang. Oleh karena itu, perlu ditelusuri faktor-faktor lain, baik itu dilihat dari latar belakang sosiologis, faktor kejiwaan maupun pendidikan yang didapatkan.
Para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor lain:
·         Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non-agama (kesenian, ilmu pengetahuan ataupun bidang kebudayaan).
·         Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jika dilakukan seacara rutin hingga terbiasa, misalnya: menghadiri upacara keagamaan, ataupun pertemuan yang bersifat keagamaan baik pada lembaga formal, ataupun nonformal.
·         Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat, misalnya: karib, keluarga, dan famili.
·         Pengaruh pemimpin keagamaan.
·         Pengaruh perkumpulan berdasarkan hobi.
·         Pengaruh kekuasaan pemimpin.
.
E.    Persuasif koersif dan konversi
Brainwashing atau pencucian otak adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan persuasif koersif (persuasi yang sifatnya pemaksaan) teknik pencucian otak ini disimpulkan salah satu media yang digunakan oleh sekte-sekte sesat dalam merekrut pengikutnya, atau yang dilakuakan pemimpin-pemimpin orang-orang yang melakukan teror (teroris) bahkan sampai bunuh diri karena paham yang mereka anut dan disalurkan kepada anggotanya melalui persuasif koesif ini, yang mungkin awalnya paham itu bertentangan dengan mereka.
Proses persuasi koersif, Terdapat 5 faktor proses terjadinya persuasi koersif yang mempengaruhi konversi
·         Kontrol dan isolasi total, secara individu atau dala kelompok kecil, orang-orang diisolasi dalam kendali mutlak pihak yang berkuasa atau berwenang atau yang memiliki otoritas.
·         Kelelahan dan kepenatan fisik. Secara fisik orang yang mengalami kelelahan bisa saja dalam keadaan ini seseorang disiksa agar meraih tujuan yang dimaksud.
·         Kebingungan dan ketidak pastian, sistem keyakina personal diserang dan diubah, ketidak pastian dikaitakn dnegna ketiadak pastian nilai yang dianut target.
·         Kesalahan dan penghinaan. Perasaan bersalah dan penghinaan pribadi didinduksi dengan berbagai cara. Semuanya diarahkan untuk membuta targe peraasaanya tidak nyaman terhina jika target bertahan daengan komitmtn searang.

·         Dikeluarkan sebagai pribadi baru dengan resolusi baru. Target dikeluarkan mereka yang berubah secara sukarela diselamatkan rasa bersalah dan kebingunan yang sengaja disuntikkan melalui sistem keyakinan baru.

Senin, 09 September 2013

Cognitive Style (gaya kognitif) Leveler (meratakan) VS Sharpener (menajamkan)

Latar Belakang teoritis
Istilah leveling dan Sharpener telah digunakan sejak tahun 1920-an, ketika Wulf menerapkan istikah sharpener untuk mengingat detail dalam cerita. Pada 1930, Lauenstein menggunakan istilah untuk menggambarkan dua ujung kontinum mengenai tingkat asimilasi antara persepsi proses-proses dan jejak memori jejak. The Squares Schematizing test pertama diujikan pada tahun 1954 oleh Holzman. digunakan untuk memvalidasi dan memperluas pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh Lauenstein pada 1930-an. Gardner, Holzman, Klein, Linton, dan Spence (1959) melakukan penelitian yang lebih luas “diferensiasi dalam organisasi memori adalah fungsi dari sejauh mana rangsangan berurutan berasimilasi satu sama lain”.
Secara umum, penajam menarik lebih dari elemen-elemen kunci dari cerita dengan cara yang lebih terorganisir daripada levelers. Levelers cenderung samar-samar dalam penyimpanan mereka dan sering disediakan hanya "kesan umum tidak jelas" (Holzman & Gardner, 1960, hal. 178). Temuan Tisese memimpin penulis untuk menyimpulkan bahwa fenomena Leveler dan Sharpener tidak hanya beroperasi di laboratorium, tetapi juga dapat menjadi "aspek abadi organisasi kognitif" (hal. 179) yang mungkin digeneralisasi untuk berbagai situasi.
Dalam penelitian persepsi visual tentang topik ini, ketika subjek tes disajikan dengan sosok asimetris, beberapa kemudian mengingat dengan cara yang melebih-lebihkan sosok asimetri (sharpener), sementara yang lain dikurangi atau dihilangkan itu (levelers). Orang-orang yang memiliki minat yang kuat dalam anggur, makanan, fotografi, audiophiles dll yang dikhususkan untuk mengeksplorasi perbedaan halus cocok dengan orang yang memiliki gaya sharpener.
Gaya kognitif, Leveler/sharpening, menggambarkan bagaimana individu berpesepsi dan menghafal image. Leveling dan sharpening adalah istilah yang label perbedaan atau variasi dalam pengolahan memori, khususnya, kemampuan untuk mempertahankan citra diskrit berurutan, berdasarkan pengalaman-rangsangan dan membuat perbedaan di antara mereka. Rangsangan ini mungkin verbal, seperti dalam cerita, atau visual, seperti dalam sebuah film.
Levelers lebih sering melewatkan perubahan atau inkonsistensi dalam rangsangan secara berurutan disajikan. Akibatnya, mereka cenderung untuk menyingkat eleman cerita dan menyederhanakan cerita (atau urutan stimuli) selama mengingat. Mereka menggabungkan kesan dan pengalaman baru dengan sebelumnya, yang lebih lama. Artinya, mereka mengintegrasikan informasi lebih mudah ke dalam memori. Tayangan memori mereka, oleh karena itu, lebih terdiferensiasi dan kabur. Levelers yang kuat tidak akan melihat apakah informasi telah berubah secara halus karena gambar global informasi masa lalu yang bisa dibedakan dari orang-orang masa kini. Akibatnya, levelers cenderung overgeneralize terhadap peristiwa, benda, atau ide.
Di ujung lain dari kontinum gaya kognitif ini, kuat Sharpener cenderung mempertahankan gambar diskrit dan jelas dibedakan dan perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka. Sharpener mempertahankan secara rinci struktur asli dari cerita ( Holzman & Gardner, 1960). Mereka lebih berat daripada levelers pada memori hafalan dan recall karena kenangan mereka lebih jelas dan berbeda. Mereka mampu memisahkan kenangan pengalaman sebelumnya lebih mudah dari yang saat ini, sehingga penajam cenderung overdiscriminate (Santostefano, 1978, p . 126).
Orang-orang yang levelers cenderung memilih dan memakai banyak kenangan dari masa lalu dalam upaya untuk memperjelas dan mengkategorikan informasi yang baru diperoleh. Sedangkan Sharpener, di sisi lain, tampaknya memilih kenangan lebih sedikit saat memproses pengetahuan baru. Dalam bukunya 1997 Styles Kognitif dan Kelas Belajar, Harry Morgan berpendapat bahwa, secara keseluruhan, penajam cenderung memiliki identifikasi yang lebih akurat untuk pengetahuan baru dan dapat berhubungan materi baru saja diakuisisi untuk materi lama dengan lebih spesifisitas. Hal ini mungkin karena kemampuan untuk selektif memilah dan menyimpan potongan kenangan dan hati-hati membedakan hubungan antara pengalaman masa lalu. Sebaliknya, levelers akurat merbaurkan fitur kenangan bersama-sama dan kemudian menyederhanakan materi baru atau mis categorize sama sekali. Mereka bisa kehilangan fitur yang membedakan antara objek-objek yang sama, padahal tidak identik. Hal ini dapat mengakibatkan definisi pengetahuan kemudian yang ambigu .
Dimensi kognitif sharpener-mengacu pada perbedaan dalam cara orang memandang dan mengingat rangsangan. "Levelers" cenderung meminimalkan perbedaan dalam bidang stimulus dan untuk mengatur dan mengingat rangsangan dengan cara yang sederhana dan menyebar. "Penajam," di sisi lain, cenderung memaksimalkan perbedaan rangsangan dan untuk memilih organisasi yang kompleks dan rinci (Holzman, 1954). Proses pendataran dan mengasah telah digambarkan dalam eksperimen dengan Uji Schematizing
Beberapa subjek waspada terhadap perbedaan, mampu beradaptasi dengan perubahan sebagai stimulus baru diperkenalkan, dan untuk menyesuaikan estimasi mereka sesuai (penajam). Lainnya (levelers) kurang selaras dengan perbedaan, lebih dipengaruhi oleh rangsangan yang mereka sebelumnya yang diamati, dan kecil kemungkinannya untuk mengubah penilaian mereka sebagai stimulus baru diperkenalkan (Holzman & Klein, 1954; Klein & Holzman, 1950).
Dalam situasi belajar normal, Levelers/sharpening cukup stabil. Namun, gaya Leveles/sharpener individu dapat berubah ketika dihadapkan dengan situasi yang tidak biasa atau tak terduga. Tergantung pada jumlah kontrol individu merasa selama situasi tersebut, ia dapat pindah ke kedua ujung kontinum. Semakin banyak kendali seseorang merasa dalam situasi, semakin besar kemungkinan itu adalah bahwa ia akan memproses informasi dengan cara yang berbeda dan dibedakan. Guthrie (1967) percaya bahwa memori berfungsi "mereorganisasi terhadap mengasah ketika lingkungan membutuhkan, dan hal ini memungkinkan individu untuk memanfaatkan informasi secara aktif dalam pengelolaan stres.
Perbedaan karakteristik dalam leveling / Sharpening
Levelers
Sharpeners
Global
articulated
Diffuse
differentiated
undifferentiated attention
attend to details/nuances
prefer generalities
prefer details
abstract reasoning
concrete reasoning
images unstable
images held stable over time
present confused with past
clear perception of chronology
overgeneralized perception
overdiscriminated perception
blur memories—confuse
rely heavily on visual
associated concepts
(rote) memory
Perbedaan Individual Terkait leveling / Sharpening
Levelers harus cenderung bergantung lapangan, sedangkan penajam harus cenderung bidang independen , meskipun tidak ada penelitian mendukung ini. Fokus ing - kontrol kognitif ini menjelaskan bagaimana attention/concentration yang sistemik digunakan atau didistribusikan saat objek saling dibandingkan. Levelers cenderung scanner dan Levelers cenderung focus.
Instrumen untuk Mengukur leveling / Sharpening
Schematizing Squares Test (Holzman Sr Klein , 1954)
The Schematizing Squares test dikembangkan untuk menguji hipotesis perbedaan antara individu-individu dalam efek asimilasi. Dalam tes, 150 kotak ditunjukkan dalam lima set. Squares berkisar dari 1 inci sampai 14 inci ketika diproyeksikan pada layar. Dalam setiap set berturut-turut, alun-alun terkecil tetes keluar dan terbesar berikutnya ditambahkan. Subyek diminta untuk menilai ukuran masing-masing persegi. Akurasi dalam ukuran peringkat penting. Semakin sedikit terpengaruh subjek adalah dengan memori masa lalu set kotak, semakin ia adalah seorang sharpener. Tes dapat melelahkan untuk mata karena banyak kotak begitu dekat dalam ukuran bahwa perbedaan yang sulit untuk membedakan, dan itu adalah tes yang sangat panjang. Keandalan data yang tidak jelas.
Leveling / Sharpener Circles Test ( Santostefano , 1964)
Dalam tes ini, 60 lingkaran yang menunjukkan bahwa secara bertahap bertambah besar. Subyek menekan tombol pada drum memori ketika mereka melihat lingkaran lebih besar dari lingkaran sebelumnya. Semakin sedikit terpengaruh subjek adalah dengan set terakhir dari lingkaran, semakin ia adalah Sharpener. Tes ini lebih mudah untuk mata pelajaran untuk mengambil daripada Squares Test, tapi masih sulit . Hal ini membutuhkan sedikit waktu . Keandalan data yang tidak jelas .
Leveling / Asah Wagon Test ( Santostefano , 1964)
Dalam tes ini , 60 gambar garis sederhana wagon anak yang akan ditampilkan. Subyek menekan tombol pada drum memori ketika gerobak " tampak berbeda atau diubah . "Bagian dari gambar putus sepanjang 60 gambar , sekali bagian tetes keluar , itu tetap keluar dari gambar . Subjek yang melaporkan perubahan awal , melaporkan banyak perubahan , atau laporan perubahan segera dianggap penajam , sedangkan levelers yang justru sebaliknya . Ini adalah tes yang lebih mudah untuk mengambil karena merupakan obyek dan bukan bentuk geometris, namun, tes ini terlalu sederhana untuk menarik perhatian anak-anak lebih tua atau orang dewasa.
 Leveling/Sharpener Home Test ( Santostefano , 1964)
Tes ini sama dengan tes wagon kecuali bahwa itu berisi 60 gambar gambar garis sederhana rumah dan setelan (pohon, matahari, pagar, dan jalan). Hal ini secara diberikan individual. Pengawas tes memegang dan menampilkan setiap gambar selama 5 detik, yang membuatnya agak rawan kesalahan. Ini adalah tes yang baik untuk 3 tahun sampai untuk orang dewasa. Sebuah versi mikrokomputer tes ini telah dikembangkan ( Burroway , 1984).


Robbbins  dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi, Jakarta : Salemba Empat
Maltby, J., Day, L., Macaskill, A. (2007). Personality, Individual Differences and Intelligence. athttp://en.wikipedia.org/wiki/Locus_of_control

Lohrenz, L. J., & Gardner, R. W. (1973). Cognitive control in recall of simi­lar visual designs versus nonsimilar thematic material. Perceptual and Motor Skills, 36, 627-631.

Burroway, R. L. (1984, January 20-24). Testing and measurement potentials of microcomputers for cognitive style research and individualized in­struction. Paper presented at the annual meeting of the Association for Educational Communications and Technology, Dallas. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 243 415)