Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 14 Desember 2014

Teori komunikasi Interpersonal

Defenisi Komunikasi Interpersonal

Menurut Devito (1997), komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjalin antara satu orang dengan orang lain yang mereka tersebut mempunyai sebuah hubungan, menurutnya komunikasi interpersonal meliputi apa yang terjadi antara anak dengan orang tua, dua orang yang bersaudara, antara seorang guru dan murid, dua orang yang saling mencinta, atau antara dua orang teman dan sebagainya. Sedangkan Bienvenu (1987) berpendapat bahwa komunikasi interpersonal dikatakan baik dikarenakan adanya konsep diri yang dapat mempengaruhi komunikasi tersebut, kemudian adanya kemampuan untuk mendengarkan isi dari komunikasi tersebut, juga marnpu mengekspresikan pikiran dan dapat mengatasi emosi terutama kemarahan, yang paling penting adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan baik. Komunikasi yang terjadi antara dua orang (dyadic) merupakan komunikasi interpersonal.



Tujuan Komunikasi Interpersonal
Menurut Devito dalam bukunya "Human Communication" (2006), dijelaskan tujuan komunikasi interpersonal diantaranya:
  • a. Mempelajari, untuk mendapatkan pengetahuan diri dan orang lain serta untuk memperoleh keahlian.
  • b. Berhubungan, untuk membina dan memelihara hubungan dengan orang lain
  • c. Mempengaruhi, untuk mengendalikan dan mengarahkan. Dalam berkomunikasi kita beursaha untuk mengubah sikap dan perilaku orang lain sena herusaha mengajak orang lain melakukan sesuatu.
  • d. Memainkan, untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan hati. Kita rnenggunakan banyak perilaku komunikasi untuk bermain dan menghibur diri.
  • e. Membantu untuk menolong, melayani kebutuhan orang lain dan untuk menghibur diri sendiri dan orang lain. 

Aspek-aspek Komunikasi Interpersonal
Devito (1997) menjelaskan lima aspek yang mempengaruhi komunikasi interpersonal, yaitu:

1. Openess (keterbukaan)
Sikap keterbukaan paling tidak (menunjuk pada dua aspek dalam komunikasi antar pribadi. Pertama, terbuka pada orang lain yang berinteraksi dengannya, yang penting adalah adanya kemauan untuk membuka diri pada masalah-masalah yang umum agar orang lain mampu mengetahui pendapat, gagasan, atau pikiran kita, sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Kedua, dari keterbukaan menunjuk pada kemauan untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain secara jujur dan terus terang terhadap segala sesuatu yang dikatakannya.

2. Emphaty (empati)
Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi atau peranan orang lain. Dalam arti bahwa seseorang secara emosional ataupun intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain.

3. Supporiiveness (dukungan)
Setiap pendapat, ide, atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. dengan demikian keinginan atau hasrat Yang ada dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan.

4. Positiveness (rasa positif)
Jika setiap pembicaraan yang disampaikan mendapat tanggapan pertama yang positif, maka lebih mudah melanjutkan percakapan yang selanjutnya. Rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk curiga atau berprasangka yang mengganggu jalinan interaksi.

5. Equality (kesamaan)
Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan antarpribadi pun lebih kuat, apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, kesamaan sikap, kesamaan usia, kesamaan idiologi dan sebagainya.
Millard J. Bienvenu (1987) membagi komunikasi interpersonal menjadi 5 (lima) aspek yang disebut dengan "Interpersonal Communication Inventory" dan digunakan sebagai alat ukur untuk komunikasi interpersonal, yaitu:

1. Self-Concept
Konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.

2. Ability
Kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik, keterampilan yang mendapat sedikit perhatian. Dan kemampuan mengekspresika

3. Skill Experience
Banyak orang merasa sulit untuk melakukan kemampuan untuk mengekspresikan pikiran dan ide-idenya.

4. Emotion
Yang dimaksud di sini adalah individu dapat mengatasi emosinya dengan cara konstrulctif (memperbaiki kemarahan).

5. Self-Disclosure
Keinginan untuk berkomunikasi kepada orang lain secara bebas dan terus terang, dengan tujuan untuk menjaga hubungan interpersonal.

Rabu, 12 November 2014

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Hemat Energi

Pada post kali ini, akan dibahas mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku hemat energi. Berbagai literatur menjelaskan faktor yang mempengaruhi perilaku hemat energi muncul dari berbagai macam bidang, seperti ekonomi, sosial dan psikologi tentunya. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku hemat energi :



A. Pendidikan
Pendidikan diyakini memainkan peran penting. Orang berpendidikan tinggi memiliki kepedulian tinggi bagi masa depan dan lingkungan. semakin seseorang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, maka semakin peduli ia terhadap kelangsungan lingkungan. dan salah satunya dengan menghemat energi (Barr et al. 2005).

B. Pendapatan
Menurut Kuznets (2008) bahwa penggunaan energi rumah tangga di negara-negara berpenghasilan tinggi jauh lebih tinggi daripada di negara-negara berpenghasilan rendah. Tentu saja, ini adalah hubungan tingkat makro. Ketika melihat tingkat mikro rumah tangga, Menurut Gusbin et al. (2004): "Mengenai dampak pendapatan terhadap permintaan energi dan pendapatan rumah tangga. dengan pendapatan yang tinggi akan memungkinkan seseorang untuk membeli peralatan yang efisien dan hemat energi yang cenderung lebih mahal daripada peralatan konvensional. Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi berkorelasi dengan kepedulian lingkungan yang lebih rendah (Anker-Nilsson. 2003).

C. Usia
Ada pengaruh yang positif walaupun tidak signifikan usia terhadap perilaku hemat energi, menurut beberapa studi menunjukkan bahwa konsumen yang lebih muda dan berpendidikan tampaknya lebih tepat dan lebih peduli terhadap lingkungan. Namun dalam literatur lainnya usia 65 tahun keatas terbukti lebih peduli dan melakukan perilaku penghematan energi (Lee & Emmel, 2003).

D. Pernikahan
Ada perbedaan perilaku hemat energi dan kesediaan untuk menghemat energi pada orang yang single dari pada mereka yang berkeluarga atau memiliki tanggungan, ini tampaknya disebabkan karena banyak beban energi yang dipakai pada kelompok yang telah berkeluarga (Handgraaf et.al., 2013).

E. Tempat tinggal
Negara-negara Asia yang ditandai dengan perbedaan tajam antara gaya hidup di daerah perkotaan dan pedesaan (Cai dan Jiang, 2008; Hubacek et.al., 2007; Reddy dan Balachandra, 2006). Pada Negara berkembang, ada kesenjangan yang signifikan antara gaya hidup pedesaan dan perkotaan. Di daerah pedesaan, gaya hidup tradisional biasanya tetap stabil, sedangkan daerah perkotaan mengalami periode konsentrasi penduduk yang cepat. Perbedaan antara pedesaan dan perkotaan merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan hemat energi yang tepat.

F. Difusi baru (eco-) teknologi
Hal ini jelas bahwa teknologi baru setidaknya akan memainkan beberapa peran dalam mencapai target penghematan energi ambisius pada tahun 2050. Teknologi tersebut sangat penting untuk diproduksi, tetapi juga pada sisi konsumsi, rumah tangga harus mengadopsi sejumlah inovasi teknologi baru. Namun, dibutuhkan proses yang panjang untuk inovasi teknologi untuk berpindah dari langkah dari penemuan ini untuk langkah digunakan secara luas pada berbagai tingkat lapisan masyarakat (Bachus & Ootegem, 2011).

G. Kondisi Lingkungan
Para konsumen energi yang percaya bahwa kondisi lingkungan saat ini memburuk dan merupakan masalah serius yang dihadapi keamanan dunia akan melakukan tindakan untuk melakukan penghematan energi. sedangkan konsumen yang kurang masuk akal untuk isu-isu ekologi merasa bahwa masalah lingkungan akan selesai dengan sendirinya (Laroche et.al., 2002).

H. Interaksi sosial dan Dukungan sosial
Pengaruh interaksi sosial terhadap perilaku hemat energi juga ditekankan dalam beberapa studi (misalnya, Ek dan Soderholm, 2010) bahwa interaksi sosial antar konsumen memungkinkan untuk saling menyebarnya informasi mengenai isu-isu lingkungan. Penelitian di Cina tentang kebijakan dan propaganda sosial oleh pemerintah memiliki peran penting (Wang et al, 2011). Selain itu, ada juga kebutuhan untuk informasi yang konsisten melalui interaksi sosial serta dukungan sosial dari lingkungan dari individu-individu agar dapat secara efektif memicu perilaku hemat energi (Bartiaux, 2008) dan ditambah lagi bahwa masyarakat kolektif (seperti masyarakat Indonesia) memiliki interaksi sosial yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat individualistis (Faiers et.al., 2007; Lynn dan Gelb, 1996). Perilaku dan opini dari mereka yang termasuk jaringan sosial masyarakat keluarga, kelompok referensi, seperti tetangga, teman dan lainnya) merupakan faktor penentu penting lainnya mengenai motivasi untuk perilaku hemat energi dan juga terkait dengan dilema social karena dengan adanya dukungan dilema sosial yang dialami seseorang ketika mengubah perilakunya bisa menghilang. Ini kadang-kadang disebut efek “lock-in” (Bachus and Ootegem, 2011).

I. Alat dan Transportasi yang Digunakan
Rumah tangga menggunakan energi untuk berbagai kegiatan. Dua domain yang berbeda dari kegiatan rumah tangga dapat dibedakan : indoor maupun outdoor. Menurut Van Diepen (2000), perbedaan ini mencerminkan perbedaan antara indoor dan outdoor, umumnya , kegiatan di kedua domain membutuhkan energi. Kegiatan indoor berada di rumah dan mencakup kegiatan seperti pemanas rumah, pencahayaan dan penggunaan peralatan rumah tangga. Penggunaan energi di indoor Belanda telah meningkat secara signifikan selama dekade terakhir (Noorman & Schoot Uiterkamp, 1998; Steg, 1999). Kegiatan di luar ruangan perhatian terutama transportasi dengan cara apapun, misalnya, untuk komuter, belanja, kegiatan rekreasi, dan hari libur.
Transportasi telah menjadi semakin penting. Tieleman (1998) bahkan menggambarkan transportasi bermotor sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan modern. Total penggunaan energi untuk lalu lintas dan transportasi di Belanda telah meningkat secara substansial sekitar 30% dekade terakhir (CBS, 2001).

J. Harga dan Pajak
Penelitian ekonometrik yang relatif baru menyimpulkan bahwa harga-elastisitas permintaan energi adalah -0,45, menyiratkan bahwa kenaikan harga dengan 10% mengurangi permintaan dengan 4,5% (Killian, 2007). Konsultan Belanda Ecofys memperkirakan elastisitas harga untuk listrik dan permintaan gas menjadi sekitar -0,2, SEO (1998) menggunakan elastisitas harga untuk permintaan listrik dari -0,5. Untuk Belgia, model MARKAL/TIMES digunakan, tetapi menurut Proost dan Duerinck (2010)
Meskipun pajak adalah salah satu instrumen kebijakan yang paling populer, penggunaannya sebagai alat untuk secara aktif mengarahkan perilaku ke arah yang lebih berkelanjutan masih sangat terbatas. Banyak ilmuwan, terutama ekonomi, hal sebagai jenis yang paling efektif dari instrumen kebijakan untuk mewujudkan perubahan perilaku. Namun, banyak hambatan tetap untuk pelaksanaannya, yang paling penting adalah umum jenis perpajakan dengan bisnis dan masyarakat umum. Hambatan lainnya adalah dugaan adanya efek samping negatif, baik ekonomi (misalnya hilangnya daya saing) dan (misalnya dampak negatif distribusi) sosial.

K. Sikap terhadap hemat energi
Tidak mungkin untuk memisahkan antara "sikap-perilaku" (dengan fokus pada perilaku lingkungan). Orang mungkin menentang penghematan energi karena mereka percaya ini akan merusak kualitas hidup mereka. Karena mereka bersikap negatif terhadapnya penghematan tersebut. Sebaliknya jika mereka bersikap positif dan percaya ada keuntungan dari hemat energi maka mereka cenderung melakukan perilaku tersebut (Dean et al, 2006).

L. Identitas Personal & Self Control
Identitas personal juga mempengaruhi tindakan menghemat energi pada beberapa kalangan (bagaimana orang melihat diri mereka sendiri dan bagaimana mereka merasa masyarakat memandang mereka) dan norma-norma, yang bagaimana orang-orang umumnya bertindak dalam masyarakat ikut (Bachus & Ootegem, 2011). Kontrol diri berkaitan dengan kemauan seseorang yang terjebak dalam kebiasaan dan rutinitas lama, untuk beralih ke kebiasaan yang baru. kebiasaan yang sering diulang perilaku yang otomatis dan sering tertanam. (Bachus & Ootegem 2011).

M. Pengetahuan dan Informasi Mengenai Isu lingkungan
Penelitian yang lebih tradisional terhadap penggunaan energi dan harga dan pendapatan atau penentu lainnya mengasumsikan bahwa orang-orang (rumah tangga) menyadari jumlah dan jenis energi yang mereka gunakan. Namun pada kenyataannya, mungkin juga menjadi kasus yang sebagian besar rumah tangga tidak benar-benar tahu apa jenis layanan energi yang mereka beli saat menggunakan jenis tertentu peralatan, atau ketika pemanasan rumah mereka, atau ketika melakukan investasi, dll. Jadi, sebuah cabang menarik dari literatur berfokus pada hubungan antara penggunaan energi dan pengetahuan dan informasi tentang penggunaan energi tersebut.
Abrahamse, W.; Steg, L.; Vlek, C dan Rothengatter, T. (2007). Salah satu kesimpulan dari publikasi ini, relevan untuk metering bagian pintar dari proyek INESPO adalah bahwa " Secara keseluruhan, penyediaan informasi tampaknya mengarah ke perubahan dalam pengetahuan tentang masalah di tangan”. Terutama sehubungan dengan penggunaan energi tidak langsung orang mungkin meragukan upaya mereka dapat secara efektif mengurangi penggunaan energi. Orang tidak dapat memeriksa jumlah aktual energi yang dihemat. Kurangnya kredibilitas harus dicegah dengan meningkatkan transparansi dan mencegah pesan yang tidak konsisten. (Bachus and Ootegem, 2011).
Banyak penelitian lain menekankan peran informasi dalam mempromosikan penghematan energi Pengetahuan lingkungan, termasuk pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan iklim, (Wang et.al., 2011).

Minggu, 14 September 2014

Health Belief Model (HBM)

Health Belief Model (HBM) adalah teori yang paling umum digunakan dalam pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan (Glanz, Rimer, & Lewis, 2002; National Cancer Institute [NCI], 2003) (dalam Turner, Hunt, Dibrezzo, & Jones, 2004). HBM berisi beberapa konsep utama yang memprediksi mengapa orang-orang akan mengambil tindakan untuk mencegah, untuk menyaring, atau untuk mengontrol kondisi penyakit. HBM termasuk kepada kerentanan, keseriusan, manfaat dan hambatan untuk perilaku, isyarat untuk bertindak, dan yang paling baru self-efficacy. Ini dikembangkan pada 1950-an sebagai cara untuk menjelaskan mengapa program skrining medis yang ditawarkan oleh US Public Health Service, terutama untuk TBC, tidak begitu sukses (Hoch-Baum dalam Turner et.al., 2004). Konsep asli yang mendasari HBM adalah bahwa perilaku kesehatan ditentukan oleh keyakinan pribadi atau persepsi tentang penyakit dan strategi yang tersedia untuk mengurangi terjadinya penyakit (Hochbaum dalam Turner et.al., 2004).



Jika individu menganggap diri mereka sebagai rentan terhadap kondisi, percaya bahwa kondisi akan memiliki konsekuensi yang serius, percaya bahwa suatu tindakan tersedia bagi mereka akan bermanfaat dalam mengurangi kerentanan mereka terhadap baik atau buruknya kondisi, dan percaya manfaat yang diharapkan mengambil tindakan lebih besar daripada hambatan (atau biaya) tindakan, mereka akan mengambil tindakan yang mereka percaya akan mengurangi risiko mereka (Champion & Skinner dalam Glanz, 2008).

Aspek-aspek health belief model (HBM)

Champion dan Skinner (dalam Glanz, 2008) mengemukakan adanya enam aspek dari health belief model (HBM), yaitu:

1. Perceived susceptibility, yaitu mengukur persepsi kerentanan mengacu pada keyakinan tentang kemungkinan mendapatkan penyakit atau kondisi. Misalnya, seorang wanita harus percaya ada kemungkinan terkena kanker payudara sebelum ia akan tertarik untuk memperoleh mammogram.

2. Perceived severity, yaitu mengukur perasaan tentang keseriusan tertular penyakit atau membiarkannya tidak diobati meliputi evaluasi dari kedua konsekuensi medis dan klinis (misalnya, kematian, cacat, dan nyeri) dan konsekuensi sosial yang mungkin (seperti dampak kondisi pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial). Kombinasi kerentanan dan keparahan telah diberi label sebagai ancaman.

3. Perceived benefits, yaitu mengukur keyakinan orang mengenai manfaat yang dirasakan dari berbagai tindakan yang tersedia untuk mengurangi ancaman penyakit. Persepsi non-kesehatan lainnya, seperti penghematan keuangan yang berkaitan dengan berhenti merokok atau menyenangkan keluarga anggota dengan memiliki mammogram, juga dapat mempengaruhi keputusan perilaku. Dengan demikian, individu menunjukkan keyakinan optimal dalam kerentanan dan keparahan yang tidak diharapkan untuk menerima tindakan kesehatan yang dianjurkan dan mereka juga menganggap tindakan yang dilakukan sebagai sesuatu yang berpotensi menguntungkan dan mengurangi ancaman.

4. Perceived barriers, yaitu mengukur penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan finansial, fisik, dan psikososial (Rosenstock, 1966).

5. Cues to action, yaitu mengukur peristiwa-peristiwa, orang-orang, atau hal-hal yang menggerakkan orang untuk mengubah perilaku mereka. Informan kunci memiliki banyak saran mengenai saluran intervensi dan strategi untuk mencapai orang-orang Afrika-Amerika (Allen, Kennedy, Wilson-Glover & Gilligan, 2007). Di antara saluran intervensi sering disebutkan adalah gereja, tukang cukur, organisasi persaudaraan, acara olahraga, kelompok sipil, dan sosial, dan penjara sebagai media edukasi dan penggerak bagi pria Afrika-Amerika untuk menghadiri program-program pendidikan kanker prostat (Allen et.al., 2007). Mendengar cerita TV atau berita radio tentang penyakit bawaan makanan dan membaca petunjuk penanganan yang aman untuk paket daging mentah dan unggas merupakan isyarat untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku yang terkait dengan perilaku penanganan makanan yang lebih aman (Hanson & Benediktus dalam Turner et.al., 2008).

6. Self-efficacy, yaitu mengukur keyakinan bahwa seseorang dapat berhasil melaksanakan perilaku yang diperlukan untuk menghasilkan hasil (Bandura, dalam Glanz, 2008). Bandura membedakan harapan self-efficacy dari harapan hasil, dimana harapan dari self-efficacy didefinisikan sebagai seseorang yang memperkirakan bahwa perilaku tertentu akan menyebabkan hasil tertentu. Harapan hasil yang mirip tapi berbeda dari konsep HBM dirasakan manfaatnya. Pada tahun 1988, Rosenstock, Strecher, dan Becker (dalam Glanz, 2008) menyarankan bahwa self efficacy ditambahkan ke HBM sebagai konstruk yang terpisah, dan sementara kerentanan, keparahan, dan manfaat termasuk dalam konsep asli HBM.

Minggu, 03 Agustus 2014

pengertian Sensation Seeking

Sensation seeking telah didefinisikan oleh Zuckerman (1979) sebagai sebuah trait yang menggambarkan "kebutuhan untuk mendapatkan sensasi yang bervarasi, baru, kompleks, intens dan pengalaman serta kemauan untuk mengambil risiko baik fisik maupun sosial demi pengalaman tersebut (Lin & Tsai, 2002). Sensation seeking berkaitan dengan berbagai kegiatan seperti penggunaan narkoba, agresi, seks, skydiving, olahraga body-contact, hiking dan berkemah, atau bermain game komputer dan video games (Lin & Tsai, 2002).



Kegiatan dari sensation seeking sendiri merupakan bentuk pengalaman yang menyenangkan bagi orang tertentu dengan berusaha memaksimalkan arousal dan memacu adrenalin mereka menjadi aktif sehingga dengan ketegangan yang mereka rasakan mendatangkan rasa puas dan bahagia saat mereka dapat melewati masa kritis tersebut (Zuckerman, 1979).

Dimensi sensation seeking

Sensation seeking menurut Zuckerman (1979) mengukur perbedaan individu dalam mencari sensasi terdiri dari empat dimensi:

1. Thrill and adventure seeking (mencari sensasi yang menggetarkan hati dan petualangan), meliputi sensasi dengan perilaku seperti terlibat dalam kegiatan fisik yang berisiko. Komponen ini menggambarkan hasrat untuk berpartisipasi dalam olahraga atau aktivitas yang menyajikan sensasi yang tidak biasa. Sensasi yang tidak biasa ini berhubungan dengan olahraga atau aktivitas yang menghasilkan sensasi kecepatan atau melawan gravitasi seperti  panjat tebing, menyelam, terjun payung, bungge jumping dan skydiping.

2. Experience seeking (mencari pengalaman), adalah perilaku mengejar pengalaman baru melalui perjalanan, musik, seni, dan obat-obatan. Komponen ini menggambarkan hasrat seseorang untuk bertemu dan berteman dengan orang yang tidak biasa.

3. Disinhibition (rasa malu) merupakan fitur perilaku yang mengabaikan kendala sosial seperti terlibat dalam pertempuran, mencari stimulasi sosial melalui pesta, minum-minum, dan berganti-ganti pasangan seks.

4. Boredom Susceptibility (kerentanan terhadap kebosanan), mengukur tingkat keengganan terhadap pengalaman yang berulang, pekerjaan rutin atau sesuatu yang dapat diprediksi, dimana reaksinya bisa berupa rasa gelisah ketika dihadapkan situasi tersebut. Dengan kata lain, komponen ini menjelaskan tentang seberapa mudah bosan pada suatu keadaan, reaksi seseorang dalam menghadapi situasi dan aktivitas monoton atau membosankan (Lin & Tsai,2002).

Rabu, 11 Juni 2014

pendekatan-pendekatan dalam Psikologi Mengenai perilaku

Dalam kajian Psikologi umumnya terdapat lima pendekatan utama yang menjelaskan tentang perilaku manusia, dalam Pengantar Psikologi (Atkinson et.al., 1993):
 Pendekatan biologis
Perilaku manusia pada dasarnya dikendalikan oleh aktivitas otak dan sistem syaraf diseluruh bagian tubuh. Pendekatan biologis ini berupaya mengaitkan perilaku yang muncul dengan aktivitas yang terjadi di dalam tubuh berupa impuls listrik dan kimia yang terjadi organ yg sangat berpengaruh. Otak berhubungan langsung dengan perilaku, mengatur pola komunikasi dan gerak tubuh, menentukan jumlah informasi yang dapat ditampung dan dicerna. Serta otak berfungsi mengarahkan dan mengkordinir kerja sel tubuh sehingga mampu melihat, mendengar, berbicara, mengingat dan bertindak dengan tepat dan juga bertugas memproses informasi serta membuat keputusan.
 Pendekatan Behaviorisme
Suatu pandangan teoritis yang beranggapan bahwa yang bersifat positivistik dan empiristik dalam diri manusia, yaitu tingkah laku, tanpa mengaitkannya dengan konsepsi kesadaran/mentalitas. Menurut pendekatan behaviorisme ini, pada dasarnya tingkah laku adalah respon atas stimulus yang datang. Dapat digambarkan dalam model S R atau suatu kaitan antara stimulus dan respon. Ini berarti perilaku merupakan sebuah respon refleks tanpa kerja mental sama sekali dari stimulus yang dihadirkan. Pendekatan ini dipelopori oleh Watson kemudian dikembangkan oleh banyak ahli seperti B.F Skinner.
 Pendekatan kognitif
Pendekatan kognitif menekankan bahwa perilaku adalah proses menngingat dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, memilih serta membandingkan, dan menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi individu menergima stimulus lalu melakukan proses mental sebelun memberikan reaksi atas stimulus tersebut. Menurut pendekatan kognitif perilaku terdiri dari overt (tampak) dan yang tidak tampak (covert) seperti Pemrosesan Informasi, Determinasi Lingkungan melalui pemrosesan informasi dan pembentukan persepsi sehingga perilaku manusia bersifat didasari oleh motif dan pembentukan persepsi manusia bebas untuk mempersepsi dan menginterpretasi pengalamannya.
 Pendekatan Psikoanalisa
Pendekatan ini pertama kali dikenalkan oleh Sigmund Freud. Ia meyakini bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar. Perilaku muncul berdasarkan tiga komponen (Id, ego dan super ego). Dimana Id yang muncul sebagai dorongan dari alam bawah sadar sehingga perilaku banyak didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti keinginan, impuls, atau dorongan. Keinginan atau dorongan yang ditekan akan tetap hidup dalam alam bawah sadar dan sewaktu-waktu akan menuntut untuk dipuaskan. Freud menyebutnya dengan “Sistem dinamis dari psikologi” mencari akar perilaku manusia dalam motivasi dan konflik yang tidak disadari.
 Pendekatan Fenomenologis

Pendekatan fenomenologis ini lebih memperhatikan pada pengalaman subjektif individu karena itulah perilaku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya, dan segala hal yang menyangkut kesadaran dan aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat perilaku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya. 

Rabu, 14 Mei 2014

Anger (marah)

Pada dasarnya setiap individu-manusia memiliki emosi, emosi merupakan bagian dari hidup manusia. Emosi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia karena emosi dapat mempengaruhi bagaimana manusia mengambil keputusan, membuat pertimbangan dan menentukan tindakan yang harus dilakukan. Ada banyak macam emosi menurut ________________ emosi dibedakan kedalam 5 emosi dasar sedih, senang, marah, jijik dan takut. Salah satu yang sering dihadapi adalah emosi marah, pada dasarnya marah merupakan hal yang wajar dan perlu dilakukan manusia dalam rangka mempertahankan dirinya. Menurut APA marah berarti “Anger is an emotion characterized by antagonism toward someone or something you feel has deliberately done you wrong. Anger can be a good thing. It can give you a way to express negative feelings, for example, or motivate you to find solutions to problems. But excessive anger can cause problems. Increased blood pressure and other physical changes associated with anger make it difficult to think straight and harm your physical and mental health.”.
Marah bisa menjadi emosi yang baik dan memberikan efek positif ketika dijadikan jalan untuk mengekspresikan perasaan negatif, dengan marah seseorang bisa mendapatkan energi untuk menyelesaikan masalahnya, memberikan suntikan energi untuk deal dengan situasi disekitarnya. namun ketika marah menjadi tidak terkendali marah bisa menjadi sumber masalah yang merugikan. Marah bisa menyebabkan penyakit jantung, karena pada saat marah tekanan darah meningkat dan perubahan fisik lainnya. Dan marah yang tidak terkendali pada banyak kejadian menjadi pemicu seseorang melakukan tindakan Agresi bisa merugikan oranglain dan terutama merugikan diri sendiri.
Kemarahan adalah reaksi alami dan fungsional untuk situasi yang dianggap mengaancam. Ketika kita belajar untuk mengelola secara efektif dan mampu mengarahkan kemarahan kita, kita dapat mengarahkan energi tersebut menjadi positif dan memberikan solusi untuk masalah kita sembari tetap menghormati orang lain dan terutama diri kita sendiri.
Marah menjadi menarik untuk dibahas karena hampir di semua kekerasan yang terjadi didahului oleh kemarahan yang meledak-ledak, kemarahan menjadi energi destruktif yang besar dan merugikan. Pada penelitian __________ anak-anak yang di biasakan dengan kemarahan yang besar dan disertai dengan agresi (verbal atau fisik) mereka sulit untuk melupakan memori tersebut dan itu berpengaruh terhadap hubungan anak-anak dengan orang tua (terutama orang tua laki-laki) menjadi rengang sampai usia dewasa.


Mendiagnosa dan mengobati individu dengan masalah amarah perhatian terhadap hal iitu telah meningkat baik bagi organisasi kesehatan, dokter, dan masyarakat secara keseluruhan. Untuk KDRT dan kasus kekerasan anak misalnya, pengadilan telah mulai untuk merujuk individu-individu yang terlibat kasus untuk ikut dalam "Treatmant Anger Management" terdapat kebutuhan yang besar untuk menempatkan terapis di pengadilan untuk mengobati orang yang marah, namun keterbatasan terapis belum memiliki pedoman yang banyak berbasis penelitian untuk mengenali, mendiagnosis, mengobati, atau mencegah kekerasan di masa depan. Karena kemarahan adalah yang paling umum menjadi precipitator kekerasan, cukup mengejutkan bahwa penelitian tentang kemarahan masih sedikit (Edmondson & Conger, 1996). Selanjutnya, meskipun kesadaran publik yang meningkat kemarahan sebagai masalah, belum adanya kategori diagnostik untuk membedakan marah. ( Beck & Fernandez, 1998).
Pengendalian emosi (anger management) adalah suatu tindakan untuk mengatur pikiran , perasaan, nafsu amarah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk atau merugikan diri sendiri dan orang lain. Pengedaian marah berkaitan dengan bagaimana seseorang mengatur pola respon yang harus ia lakukan pada saat dihadapkan dengan situasi yang mentrigger kemarahan tersebut.

            Menurut Tice (dalam Goleman 1997) amarah merupakan emosi negatif yang paling sulit dikendalikan. Amarahlah yang paling menggoda diantara emosiemosi negatif yang lain. Berbeda dengan kesedihan, amarah menimbulkan semangat, bahkan menggairahkan. Menurut Goleman (1997) pengelolaan emosi adalah kemampuan untuk mengatur perasaan, menenangkan diri, melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dengan tujuan untuk keseimbangan emosi (keseimbangan antara perasaan dan lingkungan). Alder (2001) menyebutkan bahwa pengelolaan emosi adalah suatu tindakan yang menyebabkan seseorang mengatur emosi atau mengelola keadaan. Kemampuan ini meliputi kecakapan untuk tetap tenang, menghilangkan kegelisahan, kesedihan atau sesuatu yang menjengkelkan. Orang dengan pengelolaan emosi yang baik akan mampu mengenali perasaannya dan mengatur penyaluran perasaan tersebut.

Minggu, 06 April 2014

Pentingnya ITEM Response Theory

Bulan lalu, kita telah membahas mengenai perbedaan antara Clasiccal theory dengan Item response theory yang merupakan pendekatan modern. dalam pendekatan IRT (item response theory) yang diestimasi tidak hanya kemampuan seseorang (atau dalam pendekatan CCT dikenal dengan skor) tetapi di IRT soal juga diestimasi, apakah soal itu sukar, sedang atau mudah dimana antara estimasi kemampuan seeorang dengan estimasi kesukaran soal bisa dibandingkan.
contoh sederhananya jika sebuah soal diketahui mempunya tingkat kesukaran 2 dan ada seseorang yang kemampuan nya juga 2 hal ini bisa dibandingkan, artinya orang tersebut memliki peluang 50:50 untuk menjawab benar atau sala pada soal tersebut, sedangkan dalam pendakatan CCT hal ini tidak dapat dilakukan.



pada tulsan ini saya berbicara lebih pada pengaplikasian IRT ini, seberapa penting IRT ini, dan alasan kenapa kita harus mulai sedikit demi sedkit merubah pandangan lama yang masih memakai CCT beralih kepada IRT.

yang pertama kita dalam teori klasik semua soal dianggap sama, katakanlah ada 40 soal dalam suatu tes matematika, ada 10 orang murid yang ingin mengikuti tes tersebut, mereka ingin diterima 5 orang untuk ikut olympiade, dan hasilnya ada 2 orang yang pada urutanke 5 dan 6 yang mempunyai nilai yang sama, sendangkan yang kita butuhkan cuma salah satu keduanya. dalam CCT hal ini sangat sering terjadi dua orang yang memiliki nilai sama, sedangkan yang akan dipilih cuma salah satunya, bagaiman kita menentukan hal itu, apakah adil menebak-nebak atu mengundi salah satu dari mereka untuk diyatakan lulus sedang yang lain tidak. berarti kita sudah berlaku tidak adil.
dan bagaimana jika hal ini terjadi ketika seleksi kerja atau lainnya ada 50 orang dengan nilai yang sama sedangkan yang ini diterima cuma 10 orang (saking ketat seleksinya) bagaimana kita menentukannya?

Namun dalam IRT hal ini tidak harus terjadi, dalam pendekatan IRT setiap soal dilakukan estimasi dengan memberikan nilai (yang dikenal dengan Beta atau kesukaran soal) pada setiap soal-soal, sehingga pada waktu mencari hasil test seseorang tadi dapat diketahui tingkat kemampuan masing,
kita ambi ilustrasi diatas, 2 orang anak tadi, katakanlah dalam CCT mereka mendapat skor sama, tetapi coba kita berpikir seksama, jaka anak A dia berhasil menjawab 35 soal tadi tapi sebagian bsarnya aalah soal-soal yang dari hasl estiamsi IRT adalah soal-saol yang Mudah, berbeda dengan ANak B, dia juga menjawab 35 soal namun ia lebih banyak menajwab soal-soal yang susah-susah, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa anak B lebih berhak diluluskan karena dia lebih bayak menajwab soal-soal yang susah.

bayangkan pada seleksi tes tadi diman dari 50 orang yang akan dipiih cuma 10 orang, maka IRT akan mengetimasi kemampauan masing dari 50 orang tersebut bersadarkan soal-soal mana saja yang berhasil dijawab dengan benar.

nah kelebihan dari IRT berikutnya bahwa jika kita mempunyai pertanyaan bagaimana dengan kemungkinan orang yang menebak, atau menerka soal tersebut, lantas ia benar dari terkaan tersebut, IRT juga mampu mengestimasi soal tersebut, dimana setiap soal diestimasi juga tingkat terkaannya.

IRT menjanjikan lebih banyak kelbihan, sehingga keadilan atau yang lebih dikenal dengan FAIRNESS dalam suatu tes yang diadakan bisa lebih di pertanggunngjawabkan.

khabar baiknya hal ini sudah banyak dipakai di Indonesia baik di instansi Pemerintahan ataupun Swasta, seperti tes seleksi CPNS, UN (tapi masih dalam uji coba karena belum tersosialisasinya Metode ini), dalam Swasta, seperti perektutan Karyawan.
dan terkhusus untuk kebutuhan penelitian dan riset (research) khususnya dalam bidang ilmu sosial, IRT digunakan sebagai Alat untuk menguji Validitas Konstruk suatu alat ukur sehingga kevalidtan suatu alat tes lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Rabu, 19 Maret 2014

Prasangka Sosial (Prejudice)

Pengertian Prasangka Sosial

Menurut Worchel dan kawan-kawan (2000), pengertian prasangka dibatasi sebagai sifat negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok dan  individu anggotanya. Prasangka atau prasangka sosial merupakan perilaku negatif yang  mengarahkan kelompok pada individualis berdasarkan  pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok. Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan  mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial.
Menurut Mar’at (1981), prasangka sosial adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai positif atau negatif, tetapi biasanya lebih bersifat negatif. Sedangkan menurut Brehm dan Kassin (1993), prasangka sosial adalah perasaan negatif terhadap seseorang semata-mata berdasar pada keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu.



Menurut David O. Sears dan kawan-kawan (1991), prasangka sosial adalah penilaian terhadap kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut, artinya prasangka sosial ditujukan pada orang atau kelompok orang yang berbeda dengannya atau kelompoknya. Prasangka sosial memiliki kualitas suka dan tidak suka pada obyek yang diprasangkainya, dan kondisi ini akan mempengaruhi  tindakan atau perilaku seseorang yang berprasangka tersebut.
Prasangka sosial menurut Papalia dan Sally (1985) adalah sikap negatif yang ditujukan pada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya tanpa adanya alasan yang mendasar pada pribadi orang tersebut. Lebih lanjut diuraikan bahwa prasangka sosial berasal dari adanya persaingan yang secara berlebihan antar individu atau kelompok. Selain itu proses belajar juga berperan dalam pembentukan prasangka sosial dan kesemuanya ini akan terintegrasi dalam kepribadian seseorang. 
Allport (dalam Zanden, 1984) menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan suatu sikap yang membenci kelompok lain tanpa adanya alasan yang objektif untuk membenci kelompok tersebut.
Jadi, dalam hal ini prasangka melibatkan penilaian apriori karena memperlakukan objek sasaran prasangka (target prasangka) tidak berdasarkan karakteristik unik atau khusus dari individu, tetapi melekatkan karakteristik kelompoknya yang menonjol.

Ciri-Ciri Prasangka Sosial

Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (sosial categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi  dunia sosial menjadi dua kelompok, yaitu “kelompok kita” (in group) dan “kelompok mereka” (out group). In group adalah kelompok sosial dimana individu merasa dirinya dimiliki atau memiliki (“kelompok kami”). Sedangkan  out group adalah grup di luar grup sendiri (“kelompok mereka”).
Timbulnya prasangka sosial dapat dilihat dari perasaan in group dan out group yang menguat. Ciri-ciri dari prasangka sosial berdasarkan penguatan perasaan in group dan out group adalah:
1.      Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain.
Menurut Ancok dan Suroso (1995), jika ada salah seorang individu dari kelompok luar berbuat negatif, maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar.
2.      Kompetisi sosial
Kompetisi sosial merupakan suatu cara yang digunakan oleh anggota kelompok untuk meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain.
3.      Penilaian ekstrim terhadap anggota kelompok lain
Individu melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif ataupun negatif secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.
4.      Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu
Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe. Stereotipe adalah keyakinan (belief) yang menghubungkan sekelompok individu dengan ciri-ciri sifat tertentu atau anggapan tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar.
5.      Perasaan frustasi (scope goating)
Menurut Brigham (1991), perasaan frustasi (scope goating) adalah rasa frustasi seseorang sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuannya menghadapi kegagalan.
6.      Agresi antar kelompok
Agresi biasanya timbul akibat cara berpikir yang rasialis, sehingga menyebabkan seseorang cenderung berperilaku agresif.
7.      Dogmatisme
Dogmatisme adalah sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain. Bentuk dogmatisme dapat berupa etnosentrisme dan favoritisme.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prasangka Sosial

Proses pembentukan prasangka sosial menurut Mar’at (1981) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 
1.      Pengaruh Kepribadian
Dalam perkembangan kepribadian seseorang akan terlihat pula pembentukan prasangka sosial.
2.      Pendidikan dan Status
Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin tinggi status yang dimilikinya akan mempengaruhi cara berpikirnya dan  akan meredusir prasangka sosial.
3.      Pengaruh Pendidikan Anak oleh Orangtua
Dalam hal ini orang tua memiliki nilai-nilai tradisional yang dapat dikatakan berperan sebagai famili ideologi yang akan mempengaruhi prasangka sosial.
4.      Pengaruh Kelompok
Kelompok memiliki norma dan nilai tersendiri dan akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial pada kelompok tersebut. Oleh karenanya norma kelompok yang memiliki fungsi otonom dan akan banyak memberikan informasi secara realistis atau secara emosional yang mempengaruhi sistem sikap individu.
5.      Pengaruh Politik dan Ekonomi
Politik dan ekonomi sering mendominir pembentukan  prasangka sosial. Pengaruh politik dan ekonomi telah banyak memicu terjadinya prasangka sosial terhadap kelompok lain misalnya kelompok minoritas.
6.      Pengaruh Komunikasi
Komunikasi juga memiliki peranan penting dalam memberikan informasi yang baik dan komponen sikap akan banyak dipengaruhi oleh media massa seperti radio, televisi, video yang kesemuanya hal ini akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial dalam diri seseorang.
7.      Pengaruh Hubungan Sosial
Hubungan sosial merupakan suatu media dalam mengurangi atau mempertinggi pembentukan prasangka sosial (dalam Sears et all, 1985).
 Dari uraian singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa prasangka sosial terjadi disebabkan adanya perasaan berbeda dengan orang lain atau kelompok lain. Selain itu prasangka sosial disebabkan oleh adanya proses belajar, juga timbul disebabkan oleh adanya perasaan membenci antar individu atau kelompok misalnya antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.
Komunikasi merupakan salah satu alat yang penting dalam belajar sosial. Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain diperoleh melalui berita-berita yang ditayangkan baik melaului televisi, radio, maupun video. Akibatnya opini yang terbentuk mengenai kelompok lain tergantung pada isi pemberitaan media. Misalnya bila kelompok tertentu dalam berita diposisikan sebagai ekstremis, suka kekerasan, dan teroris maka prasangka terhadap kelompok itu di masyarakat akan menguat.

Cara Mengurangi Prasangka Sosial

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan mencegah timbulnya prasangka, yaitu :
1.      Melalukan kontak langsung
2.      Mengajarkan pada lingkungan untuk tidak membenci
3.      Mengoptimalkan peran orang tua, guru, individu dewasa yang dianggap penting oleh anak dan media massa untuk membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai melalui contoh perilaku yang ditunjukkan (reinforcement positive).
4.      Menyadarkan individu untuk belajar membuat perbedaan tentang individu lain, yaitu belajar mengenal dan memahami individu  lain berdasarkan karakteristiknya yang unik, tidak hanya berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu.

Dampak Prasangka Sosial

Steplan (1978) menguraikan bahwa prasangka sosial tidak saja mempengaruhi perilaku orang dewasa tetapi juga anak-anak sehingga dapat membatasi kesempatan mereka berkembang menjadi orang yang memiliki toleransi terhadap kelompok sasaran misalnya kelompok minoritas.
Rosenbreg dan Simmons, (1971) juga menguraikan bahwa prasangka sosial akan menjadikan kelompok individu tertentu dengan kelompok individu lain berbeda kedudukannya dan menjadikan mereka tidak mau bergabung atau bersosialisasi. Apabila hal ini terjadi dalam organisasi atau perusahaan akan merusak kerjasama. Selanjutnya diuraikan bahwa prasangka sosial dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama karena prasangka sosial merupakan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi kelompok yang diprasangkai tersebut.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tentang dampak prasangka sosial di atas adalah bahwa dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang dalam berbagai situasi.  Prasangka sosial dapat menjadikan seseorang atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan kelompok lain. Apabila kondisi tersebut terdapat dalam organisasi akan mengganggu kerjasama yang baik sehingga upaya pencapaian tujuan organisasi kurang dapat terealisir dengan baik.

Rabu, 12 Februari 2014

INTELEGENSI

Pengertian Intelegensi

            Intelegensi berasal dari bahasa Latin kuno, Intelligence yang digunakan untuk menunjukkan adanya perbedaan individual dalam hal kemampuan atau kecakapan mental (mental ability). Kecerdasan (intelegensi) merupakan istilah yang hampir tidak dikenal pada percakapan sehari-hari seabad lalu. Selama setengah terakhir abad ke-19, para cendekiawan dan ilmuwan tertarik pada teori Charles Darwin bahwa perbedaan spesies terjadi karena seleksi alam. Dua dari mereka, filosof Herbert Spencer dan keponakan Darwin, Francis Galton, tertarik pada perbedaan intraspesies dalam hal karakteristik mental dan perilaku.Orang-orang ini dan pengikutnya mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat tingkat kemampuan mental umum (general intelligence) bawaan-lahir yang mereka katakan sebagai kecerdasan.




Tidak seperti Spencer, Galton tidak hanya berspekulasi dan berpendapat tentang sifat alami kecerdasan. Ia berusaha menunjukkan sifat-sifat keturunan kecerdasan dengan mempelajari pohon keluarga dan mengadakan berbagai tes diskriminasi sensori dan waktu reaksi untuk mengukur komponennya. Tes sensorimotor ini dan yang lainnya (tes kecepatan gerakan, kekuatan otot, kepekaan otot, kepekaan rasa sakit, perbedaan berat badan, dan lain-lain) dipelajari secara ekstensif oleh psikolog Amerika, J.McKeen Cattell. Sayangnya, tes ini terbukti relatif tidak bermanfaat sebagai prediktor pencapaian pada tugas sekolah dan tugas lain yang barangkali membutuhkan kecerdasan.
Perbedaan mencolok dari prosedur analitis mencoba mengukur komponen kecerdasan ini adalah pendekatan yang dilakukan oleh Psikolog Perancis, Alfred Binet. Ia mengatakan bahwa kecerdasan dimanifestasikan ke kinerja pada berbagai tugas, dan bahwa kecerdasan ini dapat diukur dengan melihat respons terhadap  sampel berbagai tugas.
Pada tahun 1905, Binet dan rekannya Theodore Simon, menerbitkan satu set tes kecerdasan, 30 tes pendek yang disusun berurutan dari yang termudah ke tersulit. Pekerjaan penelitian lainnya mengarah pada publikasi pada 1908 tentang skala revisi Binet-Simon yang terdiri dari 58 tugas yang disusun untuk level usia 3-13 tahun. Tugas dikelompokkan berdasar usia kronologis menurut penelitian yang menunjukkan apa yang dapat dikerjakan anak normal pada usia tertentu. Usia mental (mental age, MA) anak ditentukan dengan sejumlah subtes yang dilakukan pada setiap level, dan usia mental yang sangat rendah dibandingkan dengan usia kronologis anak dianggap merupakan indikasi keterbelakangan mental. Revisi terakhir skala ini diterbitkan pada 1911, tetapi setelah kematian Binet selama tahun yang sama, tempat perkembangan tes kecerdasan berikutnya bergeser ke Amerika Serikat dan Inggris.
Soetarlinah Sukadji (1998) menjelaskan bahwa tes yang sampai kini paling banyak oleh psikolog sekolah, konselor maupun psikolog klinis, yaitu Skala-Skala Wechsler yang menyarankan tes intelegensi yang sarat dengan faktor g (general), yaitu faktor umum yang mewakili berbagai tes intelegensi. David Wechsler mendefinisikan intelegensi sebagai kapasitas terpadu atau global yang dimiliki individu untuk bertindak dengan tujuan, berpikir secara rasional, dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif. Dapat dikatakan  bahwa Intelegensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, Intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional.
Sedangkan Marnat (1984) mengutip pendapat beberapa orang ahli tentang istilah Intelegensi sebagai berikut:
Stoddard, mengemukakan bahwa Intelegensi merupakan kemampuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat sukar, rumit/kompleks, abstrak, efisien, beradaptasi untuk mencapai tujuan, mempunyai nilai sosial, orisinal. Dan berusaha mempertahankan kegiatan-kegiatan tersebut pada situasi-situasi yang membutuhkan konsentrasi, energi, serta bersifat resisten terhadap emosi.
Freeman, Intelegensi merupakan kemampuan adaptasi individu terhadap lingkungan secara keseluruhan ataupun aspek lingkungan yang terbatas, kemampuan mengorganisasikan pola tingkahlaku agar dapat bertindak lebih efektif pada situasi baru, sejauh mana seseorang dapat di didik, kemampuan untuk belajar, berpikir abstrak, penggunaan konsep dan simbol secara efektif dalam rangka memecahkan problema.
Gregory (1996) mencoba menghimpun beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut: Spearman (1904), Intelegensi merupakan suatu kemampuan umum individu yang melibatkan sebagian besar pendidikan yang dimilikinya dimana terkait satu dengan yang lainnya.
Binet dan Simon (1905), Intelegensi adalah kemampuan untuk menilai, mengerti, dan menalar dengan baik. Terman (1916), Intelegensi merupakan kapasitas untuk membentuk konsep-konsep dan memahami artinya Thorndike (1921), Intelegensi merupakan suatu kekuatan respon-respon individu yang dianggap baik dari sudut pandang yang benar dan nyata. Humphreys (1971), Intelegensi adalah semua keterampilan yang diperoleh, pengetahuan dan kecenderungan pertimbangan intelektual sebagai sifat dasar yang dimiliki seseorang dalam periode waktu tertentu.
Beberapa definisi telah dikemukakan oleh para ahli tetapi tampaknya belum ada definisi yang dianggap lengkap dan dapat diterima secara pasti. Namun demikian dari berbagai perbedaan sudut pandang tersebut, ada dua tema yang selalu muncul dalam definisi tersebut, di mana para ahli cenderung sepakat menyatakan bahwa Intelegensi merupakan (1) kapasitas untuk belajar dari pengalaman, (2) kapasitas seseorang untuk beradaptasi terhadap lingkungan.
Sternberg (dalam Gregory, 1996) memberikan gambaran faktor-faktor dan item-item yang mendasari konsep tentang Intelegensi menurut para ahli dan orang awam, ditunjukkan dalam tabel berikut:

Orang awam (laypersons)
Para ahli (experts)
Practical Problem-Solving Ability
·         Berpikir secara logis dan baik
·         Mengidentifikasi saling hubungan di antara berbagai gagasan
·         Melihat seluruh aspek suatu permasalahan
·         Berpikir terbuka
Verbal Intelligence
·     Menunjukkan perbendaharaan kata yang baik
·     Membaca dengan tingkat pemahaman yang tinggi
·     Menunjukkan rasa ingin tahu
·     Apakah dengan beralasan ingin tahu
Verbal Ability
·         Berbicara dengan jelas

·         Apakah secara lisan lancar
·         Sebaliknya baik
·         Apakah menguasai bidang pengetahuan tertentu
Problem-Solving Ability
·     Dapat menggunakan pengetahuan untuk memecahkan permasalahan
·     Membuat keputusan dengan baik
·     Memproses permasalahan secara optimal
·     Menunjukkan akal sehat
Social Competence
·         Menerima orang lain seperti apa adanya
·         Mengakui kesalahan

·         Menunjukkan minat dalam lingkup pergaulan yang lebih luas
·         Apakah menepati waktu bila buat janji
Practical Intelligence
·      Menciptakan situasi yang kondusif
·      Menentukan bagaimana mencapai tujuan
·      Menunjukkan kepedulian/ kesadara terhadap dunia
·      Menunjukkan minat yang lebih luas terhadap dunia
           
Maka dapat disimpulkan bahwa di dalam Intelegensi terdapat hal-hal berikut ini:
·         Berpikir abstrak.
·         Belajar dari pengalaman.
·         Memecahkan persoalan lewat insight.
·         Penyesuaian terhadap situasi-situasi baru.
·         Memusatkan dan mempertahankan kemampuan untuk mencapai tujuan.

Keuntungan di dalam tes Intelegensi, antara lain:
·         Dapat meramalkan prestasi belajar dalam jangka pendek.
·         Memberikan suatu cara untuk menegtahui kekuatan dan kelemahan individu.
·         Mengungkap variabel penting dari kepribadian.
·         Memungkinkan para peneliti, pendidik dan praktisi klinis melacak perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada individu.

Kelemahan tes Intelegensi, antara lain:
·         Adanya keterbatasan dalam meramalkan keberhasilan karier pekerjaan.
·         Keterbatasan kemampuan untuk meramalkan keterampilan non-akademis (seperti krativitas, tingkat motivasi, ketajaman pemahaman atau penilaian sosial, dan hubungan interpersonal).
·         Bukan mengukur kemampuan innate dan menetap, sering tidak valid untuk digunakan pada kelompok minoritas.
·         Penekanan terlalu banyak pada hasil akhir kerja fungsi kognitif, cenderung mengabaikan prose yang berlangsung di dalamnya.

·         Tidak bebas budaya (beberapa tes Intelegensi tertentu)