Pages

Rabu, 19 Desember 2012

Hadist tentang menjaga kehormatan diri

 Hadist tentang menjaga kehormatan diri

Hadist 1 :
وعن حكيم بن حزام رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن النبي  قال: (اليد العليا خير من اليد السفلى، وابدأ بمن تعول، وخير الصدقة عن ظهر غنىً، ومن يستعفف يعفه اللَّه، ومن يستغن يغنه اللَّه) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Dari Hakim bin Hizam R.A. bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Tangan yang bagian atas -yang memberi- adalah lebih mulia daripada tangan yang bagian bawah -yang diberi-. Dan dahulukanlah dalam pemberian itu kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu -yakni yang wajib dinafkahi-. Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan di luar kebutuhan -yakni keadaan diri sendiri dan keluarga sudah dicukupi-. Barangsiapa yang enggan  meminta, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya dan barangsiapa tidak membutuhkan pemberian manusia, maka Allah akan memberikan kekayaan padanya." (Muttafaq 'alaih)
Sebagaimana telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya bahwa yang di­mak­sud tangan di atas adalah tangan yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta dan menerima pemberian. Seseorang harus lebih mengutamakan orang-orang yang menjadi tanggungannya dalam pemberian nafkah lahir dan bathin, seperti istri, anak, dan kedua orangtua yang membutuhkannya. Bila semua orang yang menjadi kewajibannya telah dapat dipenuhi kebutuhannya, barulah ia bersedekah. Dan sebaik-baik sedekah yang diberikannya adalah dengan ke­lebihan harta yang dimilikinya itu. Se­baliknya, sedekah yang makruh adalah sedekah yang dikeluarkan dari harta milik­nya dengan terpaksa dan dia sendiri sangat membutuhkannya untuk mencu­kupi kebutuhannya yang mendasar.


Hadist 2:
وعن ابن عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما أن النبي  قال: (لا تزال المسألة بأحدكم حتى يلقى اللَّه تعالى وليس في وجهه مُزْعَةُ لحم) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu 'anhuma bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Tidak henti-hentinya permintaan itu menghinggapi seorang diantara engkau semua -yakni orang yang senantiasa mempunyai tabiat suka meminta-minta itu tidak akan berhenti-, sehingga ia menemui Allah Ta'ala -yaitu pada hari kiamat nanti- sedang di wajahnya itu tidak terdapat sepotong dagingpun -jadi dalam keadaan sangat hina dina-." (Muttafaq 'alaih)
  
Hadist 3 :
وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ : (من سأل الناس تكثراً فإنما يسأل جمراً فليستقل أو ليستكثر) رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah R.A., katanya: "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang meminta-minta kepada orang-orang dengan maksud supaya menjadi banyak apa yang dimilikinya - jadi sudah cukup tetapi terus saja meminta-minta-, maka sebenarnyalah orang itu meminta bara api. Maka dari itu baiklah ia memilih hendak mempersedikitkan atau memperbanyakkan -siksanya-." (Riwayat Muslim).

Hadis di atas dapat diartikan bahwa orang sebagaimana yang tersebut itu yakni yang meminta-minta lebih dari keperluannya atau untuk mencari yang sebanyak-banyaknya akan disiksa dalam neraka dan oleh Rasulullah SAW dikiaskan sebagai orang-orang yang meminta bara api. Tetapi dapat pula diartikan dengan makna yang sebenarnya menurut lahiriyah sabda beliau SAW, yaitu bahwa bara api akan dimasukkan dalam seterika dan kepada orang sebagaimana di atas itu akan diseterikakan pada punggung dan lambungnya, seperti juga keadaan orang yang sudah berkewajiban zakat, namun enggan mengeluarkan atau menunaikan kewajiban zakatnya. Demikianlah yang diuraikan oleh al-Qadhi'Iyadh dalam menafsiri hadits di atas.


   Hadist 4 :
وعن أبي بشر قبيصة بن المخارق رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: تحملت حمالة فأتيت رَسُول اللَّهِ  أسأله فيها فقال: (أقم حتى تأتينا الصدقة فنأمر لك بها) ثم قال: (يا قبيصة إن المسألة لا تحل إلا لأحد ثلاثة: رجل تحمل حمالة فحلت له المسألة حتى يصيبها ثم يمسك، ورجل أصابته جائحة اجتاحت ماله فحلت له المسألة حتى يصيب قواماً من عيش أو قال سداداً من عيش، ورجل أصابته فاقة حتى يقول ثلاثة من ذوي الحجى من قومه لقد أصابت فلاناً فاقة فحلت له المسألة حتى يصيب قواماً من عيش أو قال سداداً من عيش؛ فما سواهن من المسألة يا قبيصة سحت يأكلها صاحبها سحتا) رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Bisyr yaitu Qabishah bin al-Mukhariq R.A., katanya: "Saya mempunyai beban sesuatu tanggungan harta -hamalah-, lalu saya datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta sesuatu padanya guna melunasi tanggungan itu. Beliau SAW bersabda: "Berdiamlah di sini dulu sampai ada harta sedekah -zakat- yang datang pada kita, maka dengan harta itu kita akan menyuruh guna diberikan padamu," selanjutnya beliau SAW bersabda: "Hai Qabishah, sesungguhnya permintaan itu tidak boleh dilakukan kecuali untuk salah satu dari tiga macam orang ini, yaitu: seorang yang mempunyai beban sesuatu tanggungan harta -hamalah-, maka bolehlah ia meminta sehingga memperoleh sejumlah harta yang diperlukan tadi, kemudian menahan diri -jangan meminta-minta lagi-. Juga seorang yang mendapatkan sesuatu bencana, sehingga menyebabkan kemusnahan hartanya -lalu menjadi miskin-, maka bolehlah ia meminta, sehingga dapatlah ia memperoleh sesuatu untuk menutupi keperluan hidupnya," atau sabda beliau: "Sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Demikian pula seorang yang dihinggapi oleh kemelaratan, sehingga ada tiga orang dari golongan orang-orang yang berakal di kalangan kaumnya mengatakan: "Benar-benar si Fulan itu telah dihinggapi oleh kemelaratan," maka orang semacam itu bolehlah meminta sehingga dapatlah ia memperoleh sesuatu untuk menutupi keperluan hidupnya," atau sabda beliau: "Sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya." Adapun selain tiga macam orang tersebut di atas, maka permintaannya itu, hai Qabishah adalah merupakan suatu perbuatan dosa yang dimakan oleh orang yang memintanya tadi dengan memperoleh dosa." (Riwayat Muslim)
Di dalam hadist ini, diceritakan bahwa Abu Bisyr sedang menanggung suatu tanggungan, dan ia datang kepada rasul untuk meminta sesuatu untuk membayar utang tersebut. Lalu nabi menyuruh qabihsah untuk menunggu harta, atau zakat terlebih dahulu yang nantinya akan dipakai, lalu nabi memberikan sebuah nasehat, yaitu seseorang diperbolehkan meminta-minta dalam 3 keadaan :
                                                 I.                  Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang ke orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti.
                                              II.                  Ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
                                           III.                  Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat sehingga disaksikan oleh 3 orang berakal cerdas dari kaumnya bahwa dia tertimpa kefakiran, maka  halal  baginya  meminta-minta  sampai  dia  mendapatkan  penegak  bagi kehidupannya.
   Dan itu merupakan  beberapa alasan yang membolehkan seseorang untuk meminta-minta, bahkan di hukum berdosa jika tetap melakukannya, tetapi ada beberapa dalil yang membolehkan untuk meminta-minta,
Di antara dalil-dalil syar’i yang menunjukkan bahwa meminta-minta  (sumbangan) untuk kepentingan agama dan kemaslahatan kaum muslimin itu diperbolehkan adalah pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para pemimpin perang ketika sebelum berangkat, yaitu sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam:
فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ
“ Jika mereka (orang-orang  kafir  yang  diperangi,  pent)  tidak  mau  masuk  Islam  maka mintalah Al-Jizyah dari mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi, pen)  mereka! Jika  mereka  tidak  mau  menyerahkan  Al-Jizyah  maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka!”. 
Maka dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa  meminta Al-Jizyah dari orang-orang  kafir tidak  termasuk  tasawwul  (mengemis atau meminta-minta yang dilarang) karena  Al-Jizyah  bukan  untuk  kepentingan pribadi tetapi untuk kaum muslimin.
Termasuk  dalam  pengertian  meminta  bantuan  untuk  kepentingan  kaum  muslimin adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk membuatkan beliau mimbar. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi Radhiyallaahu ‘anhuberkata:
بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى امْرَأَةٍ أَنْ مُرِى غُلاَمَكِ النَّجَّارَ يَعْمَلْ لِى أَعْوَادًا أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ
“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus kepada seorang wanita: “Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!”
Al-Imam Al-Bukhari  Rahimahullah berkata: “Bab:Meminta bantuan kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar dan masjid”
Al-Imam Ibnu Baththal  Rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang  bolehnya  meminta  bantuan  kepada  ahli pertukangan dan ahli kekayaan untuk segala hal yang manfaatnya meliputi kaum muslimin. Dan orang-orang yang bersegera melakukannya adalah disyukuri usahanya”. 
Sehingga dengan demikian,  kita  boleh  mengatakan: “Bantulah aku membangun masjid ini atau madrasah ini dan sebagainya”.  Atau  meminta  sumbangan  kepada  kaum muslimin  yang mampu untuk membangun masjid, madrasah dan sebagainya.
Dan dalam suatu hadist nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, dimana kita tidak boleh merendahkan harga diri kita didepan orang yang lebih kaya, atau semacamnya. Yang artinya “ Barangsiapa merengek-rengek pada orang kaya, meminta apa yang ada pada tangan mereka, maka telah hilang separuh agamanya”.
B.         Al-‘Iffah
Al-‘Iffah (menjaga kehormatan diri) adalah salah satu akhlak yang mulia. Jika seorang hamba menghias dirinya dengan akhlak ini maka dia akan dicintakan oleh Allah SWT dan juga disayangi oleh ramai orang.
Lebih khusus lagi, yang dimaksud dengan al-‘Iffah adalah sikap yang dapat menjaga seseorang dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa, baik yang dapat dilakukan oleh tangan, lisan atau kemasyhurannya. Lebih dari itu, dengan sikap al-‘Iffah ini seseorang akan berusaha meninggalkan hal-hal yang sebenarnya dibolehkan untuknya, namun kerana untuk melindungi diri dari hal-hal yang tidak pantas, maka ia rela untuk meninggalkannya.
Dengan demikian, seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” (An-Nur: 33)

Termasuk dalam makna ‘iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ
“Orang yang tidak tahu menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).” (Al-Baqarah: 273)
Baginda Rasulullah SAW sangat menganjurkan sikap al-‘Iffah karena dengan sikap ini seorang Muslim dapat menjaga kehormatan dan kemuliaan dirinya.
Sikap al-‘Iffah ini sangat penting bagi keperibadian seseorang, sehingga Allah menyebutkan kata “al-‘Iffah” dan kata yang berasal dari kata asasnya berulang-ulang di berbagai tempat dalam al-Qur’an. menyebutkan kata ini lebih dari satu kali dalam al-Qur’an, bukan hanya sekedar sebagai pengulangan, namun menyebutkannya dalam berbagai tempat juga disertai dengan kandungan bentuk sikap al-‘Iffah  dalam kehidupan manusia.
Persaingan hidup yang semakin tinggi dan keras banyak memunculkan perilaku umat yang melanggar batasan syariat. Bila perbuatan suka meminta-minta sudah bisa menyebabkan kemuliaan seseorang jatuh, maka yang lebih berat dari sekedar meminta-minta –seperti korupsi, mencuri, merampok, dsb.– lebih menghinakan pelakunya. Namun toh perbuatan tersebut semakin banyak dilakukan. Termasuk maraknya perilaku kaum wanita, hanya demi menginginkan enaknya hidup, mereka rela melakukan perbuatan yang menghilangkan kemuliaan mereka. Padahal agama ini telah menuntunkan agar mereka senantiasa menjaga kemuliaan diri mereka.
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang minta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan beliau berikan hingga habislah apa yang ada pada beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda kepada mereka ketika itu:
مَا يَكُوْنُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ لا أدَّخِرُهُ عَنْكُمْ، وَإِنَّه مَنْ يَسْتَعِفّ يُعِفّه اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرُ يُصَبِّرَهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَلَنْ تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Apa yang ada padaku dari kebaikan (harta) tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta maka Allah akan memelihara dan menjaganya, dan siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta maka Allah akan menjadikannya sabar. Dan siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya maka Allah akan memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 6470 dan Muslim no. 1053 )
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup) dan bersabar atas kesempitan hidup dan selainnya dari kesulitan (perkara yang tidak disukai) di dunia.” (Syarah Shahih Muslim, 7/145)
Menjadi muslim dan muslimah yang ‘afifah bila seorang muslim dituntut untuk memiliki ‘iffah maka demikian pula seorang muslimah. Hendaknya ia memiliki ‘iffah sehingga ia menjadi seorang wanita yang ‘afifah, karena akhlak yang satu ini merupakan akhlak yang tinggi, mulia dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan akhlak ini merupakan sifat hamba-hamba Allah yang shalih, yang senantiasa menghadirkan keagungan Allah dan takut akan murka dan azab-Nya. Ia juga menjadi sifat bagi orang-orang yang selalu mencari keridhaan dan pahala-Nya.
Berkaitan dengan ‘iffah ini, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh seorang muslimah untuk menjaga kehormatan diri, di antaranya:
Pertama: Menundukkan pandangan mata (ghadhul bashar) dan menjaga kemaluannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقٌلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…” (An-Nur: 31)
Asy-Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan kaum mukminin dan mukminat untuk menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari perbuatan zina, liwath (homoseksual) dan lesbian, dan juga menjaganya dengan tidak menampakkan dan menyingkapnya di hadapan manusia.” (Adhwa-ul Bayan, 6/186)
Kedua: Tidak bepergian jauh (safar) sendirian tanpa didampingi mahramnya yang akan menjaga dan melindunginya dari gangguan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِر امرَأَةٌ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar kecuali didampingi mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)
Ketiga: Tidak berjabat tangan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Karena bersentuhan dengan lawan jenis akan membangkitkan gejolak di dalam jiwa yang akan membuat hati itu condong kepada perbuatan keji dan hina.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata: “Secara mutlak tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, sama saja apakah wanita itu masih muda ataupun sudah tua. Dan sama saja apakah lelaki yang berjabat tangan denganya itu masih muda atau kakek tua. Karena berjabat tangan seperti ini akan menimbulkan fitnah bagi kedua pihak. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata tentang teladan kita (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam):
مَا مَسَتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا
“Tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita, kecuali tangan wanita yang dimilikinya (istri atau budak beliau).” (HR. Al-Bukhari, no. 7214) Tidak ada perbedaan antara jabat tangan yang dilakukan dengan memakai alas/ penghalang (dengan memakai kaos tangan atau kain misalnya) ataupun tanpa penghalang. Karena dalil dalam masalah ini sifatnya umum dan semua ini dalam rangka menutup jalan yang mengantarkan kepada fitnah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 1/185)
Keempat: Tidak khalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam titahnya yang agung:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
“Tidak boleh sama sekali seorang lelaki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila bersama wanita itu ada mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)

Kelima: Menjauh dari hal-hal yang dapat mengundang fitnah seperti mendengarkan musik, nyanyian, menonton film, gambar yang mengumbar aurat dan semisalnya.
Seorang muslimah yang cerdas adalah yang bisa memahami akibat yang ditimbulkan dari suatu perkara dan memahami cara-cara yang ditempuh orang-orang bodoh untuk menyesatkan dan meyimpangkannya. Sehingga ia akan menjauhkan diri dari membeli majalah-majalah yang rusak dan tak berfaedah, dan ia tidak akan membuang hartanya untuk merobek kehormatan dirinya dan menghilangkan ‘iffah-nya. Karena kehormatannya adalah sesuatu yang sangat mahal dan ‘iffah-nya adalah sesuatu yang sangat berharga.
Memang usaha yang dilakukan untuk sebuah ‘iffah bukanlah usaha yang ringan. Butuh perlu perjuangan jiwa yang sungguh-sungguh dengan meminta tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut: 69)

Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk selalu menjaga kehormatan diri (‘Iffah).Dalam sebuah sabdanya, Beliau berkata:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ عَبْدَهُ الْمُؤْمِنَ الْفَقِيرَ الْمُتَعَفِّفَ أَبَا الْعِيَالِ
Maksudnya: “Sesungguhnya Allah SWT senang dengan hamba-Nya yang Mukmin dan fakir namun tetap menjaga kehormatan dirinya serta menanggung nafkah keluarganya.”[1]
Berkata sahabat Hakīm bin Hizām R.A.: “Saya pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah SAW, dan Beliau memberikannya kepadaku. Kemudian saya meminta kembali yang kedua kali, dan Beliau juga mengabulkan permintaanku itu. Setelah itu Beliau berkata kepadaku:
يا حكيم إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
Maksudnya: “Wahai Hakīm, sesungguhnya harta benda itu memang indah dan nikmat (digambarkan oleh Rasul dengan hijau dan manis). Sesiapa mengambilnya dengan hati yang lapang (tidak terlalu berobsesi untuk menguasainya) maka dia akan mendapatkan keberkahan harta tersebut. Dan sesiapa mengambilnya dengan penuh berat hati (sangat berobsesi mendapatkannya sehingga hatinya terasa sempit) maka dia tidak akan mendapatkan keberkahan dengan harta itu, bahkan dia akan menjadi seperti orang sedang makan yang tidak pernah kenyang. Tangan yang di atas (orang yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (orang yang meminta). (H. R. al-Bukhārī dan Muslim).
Yang dimaksud dengan hadith di atas adalah setiap harta yang didapat dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama tidak akan mendapat keberkahan. Hal itu seperti harta yang diambil dari seseorang, sedangkan orang tersebut merasa berat untuk memberikan harta tersebut.
Jadi disimpulkan bahwa bentuk dari iffah itu ada 3 macam :
1.      Iffah yang berkenaan dengan bagaimana seseorang dalam pergaulan, faraj, dan yang semcamnya. Maka seorang muslim dan muslimah harus bisa menjaga dirinya, agar kehormatan dirinya tetap terjaga seperti tidak berpegang tangan dengan yang bukan muhrimnya, menutup aurat dll.
2.      Iffah yang berkenaan dengan bagaimana seseorang dalam segi meminta-minta, seseorang harus mampu menjaga dirinya agar tidak meminta-minta, mengemis ataupun merendahkan dirinya demi meminta-minta

3.      Iffah yang berkenaan dengan bagaimana seseorang menjaga amanah, menjaga keprcayaan orang lain, dengan menjaga hal tersebut berati kita telah menjaga kehormatan diri

0 komentar:

Posting Komentar