A. biografi
muhammad Iqbal
Ia lahir di
sebuah kota bernama Sialkot (Punjab), sebuah kota peninggalan Dinasti Mughal
India pada tanggal 22 Februari 1873 (Dzulhijjah 1289 H). Leluhurnya dari
kashmir, yang telah memeluk islam selama kira 300 tahun.
Ayahandanya
Syaikh Nur Muhammad memiliki kedekatan dengan kalangan Sufi. Karena kesalehan
dan kecerdasannya, penjahit yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan
mistis yang dalam serta rasa keingintahuan ilmiah yang tinggi. Tak heran, jika
Nur Muhammad dijuluki kawan-kawannya dengan sebutan "Sang Filosof tanpa
guru" (un parh falsafi).
Ibunda
Iqbal, Imam Bibi, juga dikenal sangat relegius. Ia membekali kelima anaknya,
tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang
kuat. Di bawah bimbingan kedua orangtuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan
dibesarkan. Kelak di kemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan
dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari
kedua orangtuanya tersebut.
Masa kecil di
habiskan dengan belajar di sekolah rendah dan menengah salah satu seorang alim
yang mengajar nya yaitu Maulami Mir hasan. selain juga belajar pada ayahnya.
Pada tahun
1895 ia pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat
kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota ini ia bergabung dengan perhimpunan
sastrawan yang sering diundang musyara'ah, yakni pertemuan-pertemuan di
mana para penyair membacakan sajak-sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih
berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Di kota Lahore ini, sambil
melanjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar filsafat di Government College.
Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A.
dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas
Arnold—orientalis Inggris yang terkenal—yang mengajarkan filsafat Islam di
College tersebut. Antara keduanya terjalin kedekatan melebihi hubungan guru dan
murid, sebagaimana tertuang dalam sajaknya Bang-I Dara.
Dengan
dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai salah satu
pengajar yang berbakat dan penyair di Lahore. Sajak-sajaknya banyak diminati
orang. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang
spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.McTaggart.
Iqbal kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan
doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics
in Persia (disertasi ini kemudian diterbitkan di London dalam bentuk buku,
dan dihadiahkan Iqbal kepada gurunya, Sir Thomas Arnold). Setelah mendapatkan
gelar doktor, ia kembali ke London untuk belajar di bidang keadvokatan sambil
mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas London. Selama di Eropa
Iqbal tidak pernah bosan menemui para ilmuwan untuk mengadakan berbagai
perbincangan tentang persoalan-persoalan keilmuan dan kefilsafatan. Ia juga
memperbincangkan Islam dan peradabannya. Di samping itu Iqbal memberikan
ceramah dan berbagai kesempatan tentang Islam. Isi ceramahnya tersebut
dipublikasikan dalam berbagai penerbitan surat kabar. Ternyata setelah
menyaksikan langsung dan mengkaji kebudayaan Barat, ia tidak terpesona oleh
gemerlapan dan daya pikat kebudayaan tersebut. Iqbal tetap concern pada
budaya dan kepercayaannya.
Sekembali di
india pada tahun 1908 dan menjadi Mhaguru dalam filsafat dan kesustraan inggris
di lahore di goverment college Lahore.
Ia wafat tanggal
21 april 1983 karena penyakit yang di deritanya sebuah sajak penutup :
“melodi selamat tinggal akan
menggema atau tidak
Nafiri akan berbunyi dari hijaz atau
tidak
Hari fakir ini telah sampai pada
batasannya
Pujangga yang lain akan datang atau tidak”
C. Karya-karya Muhammad Iqbal
1. Asrar-i
Khudi (Rahasia Pribadi) (1915)
2. Bang-i
Dara (Seruan dari Perjalanan) (1924)
3. The
Recunstruction of Relegious Thought in Islam (1930)
4. Payam-i
Masyriq (Pesan dari Timur) (1923)
5. Ilm
al-Iqtisad (1903)
6. Development of Metaphysics in Persia: A
Constribution to the History of Muslim Philosofy (1908)
7. Islam is a Moral and Political Ideal (1909)
8. Rumuz-I Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri) (1918)
9. Self in the Light of Relativity Speechees and
Statement of Iqbal (1925)
10. Zaboor-I ‘Ajam (Kidung Persia) (1927)
11. Khusal Khan Khattak (1928)
D. Filosof-Filosof yang Mempengaruhi
Iqbal
Iqbal adalah
filosof Muslim yang banyak dipengaruhi oleh banyak filosof Barat seperti Thomas
Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya. Di antara sekian banyak filosof, menurut Donny
Gahral, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling banyak mempengaruhi Iqbal, oleh
karena itu pemikiran kedua filosof ini akan dipaparkan sebagai berikut:
Nietzsche
dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai
kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi. Manusia sebagai kehendak
kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana
Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat
relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap atheisme yang dianut Nitzsche
sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan
dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan
kebebasan manusia.
Iqbal juga
menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang
buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa
dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia
berkehendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan
oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum evolusionistik.
1.
Friedrich Nietzsche
Filsafat
Nietzsche (1844-1900) adalah filsafat kehendak untuk penguasaan. Konsep
Nietzsche tentang kehendak untuk penguasaan berkaitan erat dengan konsep lebenphi-losophie
tentang hidup. Tradisi lebenphi-losophie memandang hidup bukan
sebagai proses biologis, melainkan sebagai sesuatu yang mengalir, meretas, dan
tidak tunduk pada apa pun yang mematikan gerak hidup. Nietzsche memandang hidup
sebagai insting atas pertumbuhan, kekekalan dan pertambahan kuasa. Pendeknya,
hidup menurut Nietzsche adalah kehendak untuk penguasaan.
Berdasarkan
konsep hidup sebagai kehendak untuk penguasaan, Nietzsche secara revolusioner
mendekonstruksi tiga warisan klasik yang menjadi pondasi dasar peradaban Barat:
filsafat, moralitas, dan agama (Yudeo-Kristiani) yang dinilainya tidak mewadahi
kehendak untuk penguasaan. Tiga serangkai yang membawa peradaban Barat menuju
pada kehancuran bukan kemajuan. Ketiga warisan klasik peradaban Barat itu
menurut Nietzche berlawanan dengan konsepnya tentang hidup.
Dengan nada
ironis Iqbal pernah melukiskan Nietzsche sebagai jenius yang kesepian dan
tersesat. Bahkan nyaris putus asa. Ia merindukan seseorang yang bisa ia patuhi
untuk membimbing kekuatan-kekuatan batin dalam kehidupan ruhaninya. Nietzsche
sesungguhnya sadar akan kebutuhan ruhaninya, tetapi ia telah gagal menumbuhkna
sifat-sifat ketuhanan yang tak terbatas dalam dirinya. Kekuatan-kekuatan
batinnya malah menjadi tidak produktif karena Nietzsche menciptakan solusi di
luar kehidupan ruhaninya melalui gagasan-gagasan semacam radikalisme
aristokrasi.
Iqbal memang
terinspirasi Nietzsche, terutama dalam semangatnya. Hal ini tampak dari puisi
lainnya tentang Nietzsche bahwa kita dapat meraih semangat yang positif dan
harapan dari ketulushatiannya:
Jika kau
nada lembut, jangan datang padanya
Gemuruh
topannya adalah musik yang ditiup seruling penanya
Ia celupkan
pisau bedah ke lubuk hati Barat
Tangannya
berlumuran darah setelah membersihkan darah salib Kristus
Pada
pembangunan Ka’bah, ia mendirikan rumah berhala sendiri
Hatinya
adalah seorang mukmin, namun otaknya kafir
Pergilah dan
bakar dirimu di api unggun raja Namrudz ini
Agar taman
bunga Ibrahim berbunga dari api azar
2. Henry Bergson
Henry
Bergson (1859-1941) merupakan tokoh yang bisa dibilang paling berpengaruh
terhadap pemikiran Iqbal, khususnya tentang intuisi dan élan vital. Bergson
mengemukakan adanya dua cara pengenalan yaitu analisis dan intuisi. Analisis
adalah aktivitas intelektual yang mengenali objek dengan observasi bergerak
mengitari objek atau dengan memisahkan bagian-bagian konstituen objek
kajiannya. Analisis bekerja dengan simbol-simbol tersebut selalu berupa
generalisasi abstrak yang melenyapkan keunikan individu
Intuisi, di
lain pihak, menurut Bergson merupakan semacam rasio simpati yang mana subjek
peneliti menempatkan dirinya dalam objeknya untuk menemukan apa yang unik
dalamnya dan oleh karenanya tidak dapat diekspresikan. Berpikir secara intuitif
adalah berpikir dalam durasi. Durasi sendiri dipahami sebagai waktu dalam
bergerak berkelanjutan (continuous flow) dan bukan waktu yang
terspesialisasi oleh rasio menjadi momen-momen atau titik-titik dalam garis.
Rasio hanya mampu memahami bagian-bagian statis dan tidak mampu menangkap
pergerakan terus-menerus (durasi).
Elan Vital
merupakan suatu kesadaran dari mana tumbuh kehidupan dan semua kemungkinan
kreatifnya. Evolusi bersifat kreatif dan tidak deterministik seperti
dikemukakan Darwin dan Marx karena masa depan bersifat terbuka. Bergson
menolak, berdasarkan argumen élan vitalnya, adanya tujuan final yang ditetapkan
di depan.
2.2 PEMIKIRAN-PEMIKIRAN
MUHAMMAD IQBAL
A. Filsafat Ego atau Khudi
Konsep
tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat
Iqbal, dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini
dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi
berjudul Asrar-i Khudi; kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan
dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The
Reconstruction of Relegious Thought in Islam.
Menurut
Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau self atau individualitas, khudi
merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, serta merupakan pusat dan
landasan dari semua kehidupan, khudi merupakan suatu iradah kreatif yang
terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup
bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang
bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang melingkupi serta memusatkan
kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke
arah suatu tujuan konstruktif. Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat
dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa
matsnawinya dalam Asrar-i Khudi.
Bentuk
kejadian ialah akibat dari khudi
Apa saja
yang kaulihat ialah rahasia khudi
Dijelmakannya
alam cita dan pikian murni
Apa guna
wujudmu melainkan untuk mengembangkan dayamu?
Kalau kau
perkuat dirimu dengan khudi
Kau akan
pecahkan dunia sesuka khudimu;
Jika kau
hendak hidup, isilah dirimu dengan khudi
Apakah mati
sebenarnya? Melepaskan semua khudi
Kenapa
berkhayal itulah terpisahnya roh dari tubuh
Bermukimlah
dalam khudi, penaka Yusuf
Majulah dari
rebutan yang satu ke rebutan yang lain
Pikirkanlah
khudimu dan jadilah beraksi
Jadilah
manusia-Tuhan, kandunglah rahasia dalammu.
Iqbal juga
menjelaskan bahwa Realitas tertinggi sebagai suatu Ego, realitas tertinggi ini
merupakan asal tempat semua ego bermula, dan juga berfungsi sebagai kesatuan
Ego. Realitas tertinggi ini bisa dikatakan Ego Mutlak (tuhan : Aku yang Akbar),
dan setiap yang ada di dunia ini merupakan penjelmaan dari Ego mutlak tadi
(dalam arti spritual). Tetapi setiap ego-ego yang ada di dunia tersebut memilki
tingkatan kewujudan sendiri.
Ego
mempunyai tujuan untuk menjelaskan realitasnya sendiri, mencapai nilai fundamentalnya.
Pencarian ego adalah pencarian untuk mendapatkan defenisi yang lebih tepat
tentang dirinya. Kehidupan adalah sebuah gerak maju yang senangtiasa mengadakan
asimilasi. Esensi dari kehidupan itu sendiri adalah semua pembentukan untuk memelihara
dirinya sendiri dan untuk mewujudkan dirinya dalam lapangan yang lebih luas.
Ego bagi
Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas. Ia mengambil bagian dalam kehidupan
dan kebebasan Ego mutlak. Sementara itu, aliran kausalitas dari alam mengalir
ke dalam ego dan dari ego ke alam. Karena itu, ego dihidupkan oleh ketegangan
interaktif dengan lingkungan. Dalam keadaan inilah Ego Mutlak membiarkan
munculnya ego relatif yang sanggup berprakarsa sendiri dan membatasi kebebasan
ini atas kemauan bebasnya sendiri. Menurut Iqbal, nasib sesuatu tidak
ditentukan oleh sesuatu yang bekerja di luar. Takdir adalah pencapaian batin
oleh sesuatu, yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat direalisasikan yang
terletak pada kedalaman sifatnya.
Untuk
memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertarikan, sedangkan yang
memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai
kesempurnaan ego maka setiap individu mesti menjalani tiga tahap. Pertama,
setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat
makhluk dan hukum-hukum ilahiah. Kedua, belajar berdisiplin dan diberi
wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan
seraya tidak bergantung pada dunia. Ketiga, menyelesaikan perkembangan
dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).
B. Filsafat Ketuhanan
Pemahaman
Iqbal tentang ketuhanan mengalami tiga tahap perkembangan, dari tahap pencarian
sampai ke tahap kematangan. Ketiga tahap itu adalah :
Tahap
Pertama : Pada tahap ini Iqbal meyakini Tuhan sebagai Keindahan Abadi,
keberadaanNya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu,
bahkan menampakkan diri dalam semuanya itu. Dia menyatakan dirinya di langit
dan di bumi, di matahari dan di bulan, di semua tempat dan keadaan. Tuhan
sebagai Keindahan Abadi, menarik segala sesuatu, seperti magnet menarik besi,
Tuhan juga sekaligus menjadi penyebab gerak segala sesuatu. Kekuatan pada
benda-benda, daya tumbuh pada tanaman, naluri pada binatang buas, dan kemauan
pada manusia hanyalah sekedar bentuk daya tarik, cinta untuk Tuhan. Karena itu,
Keindahan Abadi adalah sumber, esensi dan ideal segala sesuatu. Tuhan bersifat
universal dan melingkupi segalanya seperti lautan.
Tahap
Kedua : Pada tahap ini Iqbal tertarik kepada Rumi yang dijadikan sebagai
pembimbing ruhaninya. Pada tahap ini, Tuhan bukan lagi dianggap sebagai
Keindahan Luar, tetapi sebagai Kemauan Abadi, sementara keindahan hanyalah
sebagai sifat Tuhan di samping ke-Esa-an Tuhan. Karena itu Tuhan menjadi asas
rohaniah tertinggi dari segala kehidupan. Tuhan menyatakan diriNya bukan dalam
dunia yang terindera, tetapi dalam pribadi terbatas. Karena itu usaha
mendekatkan diri kepadaNya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan menemukan
Tuhan, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap ke dalam Tuhan dan
menjadi tiada. Sebaliknya, manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya,
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya.
Tahap
Ketiga: Pada tahap ini merupakan pengembangan menuju kematangan konsepsi Iqbal
tentang ketuhanan. Tuhan adalah hakikat sebagai suatu keseluruhan. Hakikat
sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat sepiritual, tegasnya merupakan
suatu Ego Mutlak, karena Dia meliputi segalanya, tidak ada sesuatu pun di luar
Dia. Dia merupakan sumber segala kehidupan dan sumber dari mana ego-ego
bermula, yang menunjang adanya kehidupan itu.
Tuhan
sebagai objek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua objek
metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat
ditangkap indra, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan.
Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak ditangkap indra.
Metafisika
yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis)
untuk membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila
filsafat ketuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh
pengkajiannya, maka teologi wahyu sebagai titik awal pembahasannya.
Filsafat
ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan
pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan tidak mempersoalkan eksistensi
Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggarisbawahi bahwa apabila tidak ada
penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang
relatif-kontigen tidak dapat dipahami akal.
Paling
tidak, terdapat tiga argumen besar dalam filsafat ketuhanan: argumen
kosmologis, argumen teologis, dan argumen ontologis. Argumen kosmologis mengemukakan
bahwa Tuhan harus ada, karena kalau tidak maka akan ada rangkaian kausalitas
yang tak terhingga untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Argumen teologis
mengemukakan bahwa dari struktur finalitas realitas dapat ditariik kesimpulan
adanya Sang Pencipta yang menetapkan struktur tersebut. Sedangkan argumen
ontologis mengemukakan bahwa Tuhan ada karena kita memikirkannya dan
memprediksikan eksistensi terhadap Dirinya.
Iqbal secara
tegas menolak argumen-argumen para filosof skolastik tersebut. Baginya argumen-argumen
ini telah menemui kegagalan. Di samping tampak sebagai suatu interpretasi
pengalaman yang dibuat-dibuat, menurutnya argumen-argumen itu mengundang pula
kesesatan logis. Iqbal mengungkapkan bahwa di antara penyebab kegagalan
argumen-argumen ini adalah karena dipaksakannya dualisme epistemologis, yaitu
pemisahan antara pikiran dan wujud (being). Padahal dalam
argumen-argumen itu sendiri sesungguhnya telah tersirat bahwa pikiran dan wujud
pada akhirnya merupakan satu kesatuan.
Iqbal
sepakat dengan Kant bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui
hakikat Tuhan. Namun keterbatasan rasio tidak menjadikan Iqbal seorang skeptis
seperti Kant, ia tetap meyakini bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman relegius.
Dalam hal ini konsep intuisi Iqbal berbeda dengan konsep intuisi kaum mistikus.
Apabila kaum mistikus menekankan kontak langsung dengan Tuhan lewat proses
intuisi, Iqbal menolaknya dengan mengatakan bahwa apa yang pertama-pertama
tersingkap secara kuat lewat intuisi adalah keberadaan ego atau diri yang
kreatif dan bebas.
Filsafat
ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal
berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang
keberadaan ego atau diri yang bebas-kreatif.
Metafisika
gerak Iqbal mengemukakan bahwa manusia bukanlah benda statis tetapi suatu
aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan kesempurnaan. Hidup
keberagamaan sendiri menurut Iqbal adalah suatu proses evolusi yang dapat
dibagi menjadi tiga tahap, iman, pemikiran dan penemuan. Pada tahap pertama
yaitu tahap iman kita menerima apa yang difirmankan Tuhan tanpa keraguan
sedikitpun. Pendeknya segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah mutlak
benar karena berasal dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia. Pada tahap kedua
yaitu tahap pemikiran. Kita tidak sekadar menaati secara buta firman Tuhan
melainkan mulai memikirkan maksud dari firman tersebut atau singkatnya kita
mencoba memahami secara rasional apa yang kita percayai. Dan pada tahap terakhir yaitu tahap penemuan kita mencapai kontak
langsung dengan realitas ultim yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan.
Menurut
Iqbal agama bukan sekadar sekumpulan ajaran untuk menekan aktivitas nafsu
instingtif manusia (agama sebagai instrumen moral) seperti diklaim para
psikoanalisis (Freud, Jung). Bagi Iqbal, agama lebih dari sekadar etika yang
berfungsi membuat orang terkendali secara moral. Fungsi sesungguhnya adalah
mendorong proses evolusi ego manusia di mana etika dan pengendalian diri
menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan ego manusia
yang selalu mendampakan kesempurnaan. Dengan kata lain, agama justru
mengintegrasikan kembali kekuatan-kekuatan pribadi seseorang.
C. Materi dan Kausalitas
Menurut
Iqbal materi adalah suatu kelompok ego-ego berderajat rendah, dan dari sana
muncul ego yang berderajat lebih tinggi, apabila penggabungan dan interaksi
mereka mencapai suatu derajat kordinasi tertentu. Fakta yang berderajat lebih
tinggi muncul dari yang lebih rendah, tidaklah mengurangi nilai dan
kehormatannya. Yang menjadi masalah bukanlah asal, tetapi kesanggupan, arti dan
pencapaian terakhir dari pemunculannya itu.
Iqbal
berpendapat bahwa system sebab akibat merupakan suatu ‘alat’ yang perlu sekali
bagi ego, dan bukanlah merupakan gambaran yang sebenarnya tentang sifat
realitas. Sebab sebenarnya rantai perhubungan sebab akibat di mana kita mencari
suatu tempat untuk ego, yaitu suatu bentuk artificial ego untuk kepentingan ego
sendiri. Ego diharuskan berada di suatu lingkungan yang kompleks, dan dia tidak
dapat terus hidup tanpa mengubahnya menjadi suatu system, yang dapat menjamin
bahwa tata laku hal-hal di sekelilingnya sesuai untuk dirinya. Dengan menafsirkan
alam seperti ini, ego dapat menguasai lingkungannya, dan dengan demikian dapai
mencapai keluasan dalam arti meningkatkan kualitas.
Iqbal
selalu menekankan bahwa kodrat kehidupan ego selalu berproses, yang berarti
juga selalu ada perkembangan ego, yang berjuang meningkatkan dirinya ke arah
individualitas yang lebih kompleks dan lebih sempurna.
D. Moral
Manusia
mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas, mempunyai kemampuan untuk mengubah
dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk ikut memperindah
dunia. Sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk mengambil bagian dengan
cita-cita yang lebih tinggi dari alam sekitarnya dan turut menentukan nasibnya
sendiri. Manusialah yang dapat mengambil inisiatif menyiapkan diri dalam
mengahadapi tantangan alam dan mengerahkan seluruh kekuatannya supaya dapat
mempergunakan tenaga-tenaga alam itu untuk tujuannya sendiri.kalau manusia
tidak mengambil inisiatif dan kalau ia tidak mau mengubah keadaan batinnya ke
arah hidup yang lebih tinggi,maka roh yang ada didalam dirinya akan mengeras
menjadi batu, dan ia pun merosot turun ke tingkat benda mati Sesungguhnya
ilmulah yang mengadakan hubungan-hubungan ini, dan ilmu adalah
persepsi-inderawi yang diolah dengan pemahaman dan pengertian. Dengan
bersenjatakan pengetahuan, manusia berkenalan dengan aspek kebenaran yang dapat
diselidiki. Usaha pikiran mengatasi rintangan yang disebabkan oleh alam.
Manusia yang akan mempertahankan hidupnya dalam suatu lingkungan yang penuh
rintangan, tak dapat mengabaikan hal-hal yang terlihat oleh mata, dan tak dapat
mengabaikan tentang adanya perubahan.
Menurut
Iqbal moral tidak hanya berdasarkan persepsi inderawi saja, tetapi juga harus
dilengkapi dengan persepsi al-Qur’an di sebut Qalb. Kerja hati adalah untuk
menguraikan masalah-masalah kejiwaan, mistik dan kegaiban. Fakta pengalaman
religious/mistik adalah sama dengan fakta pengalaman manusia dan penafsiran
yang dihasilkan oleh pengetahuan. Sifat-sifat pengalaman religious/mistik
menurut Iqbal terbagi menjadi 4, yaitu Pertama, pengalaman langsung. Kedua,
Keseluruhan pengalaman mistik tak dapat diuraikan. Ketiga, suasana miistis
merupakan penggabungan antara ego insane dengan Ego Yang Maha Kuasa. Keempat,
suasana mistis lebih bersifat perasaan daripada pikiran. Kelima,hubungan mistis
rapat sekali dengan alam azali.
Dalam
hal mencari kebenaran dari suatu pengalaman, iqbal membagi atas dua macam
pembuktian:
1.
Pembuktian secara akal, penafsiran yang kritis tanpa prasangka.
2.
Pembuktian secara pragmatis, kebenaran dari suatu pengalaman dengan melihat
hasilnya.
Menurut M.Iqbal,
ada dua cara untuk memahami manusia; pertama, cara intelektual yaitu cara yang memahami dunia sebagai suatu sistem
agar kokoh tentang sebab-akibat. Kedua, cara
Vital yaitu menerima mutlak adanya
keharusan yang tidak dapat dihindari dari kehidupan ini,dimana ia dipandang
sebagai keseluruhan. Cara ini disebut “iman” (percaya aktif).
E. Insan Al-Kamil
Iqbal
menafsirkan Insan al-Kamil atau ‘manusia utama’ yaitu setiap manusia potensial
adalah suatu mikrokosmos, dan bahwa insane yang telah sempurna kerohaniannya
menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan, sehingga sebagai orang suci dia menjadi
khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi.
Manusia
dengan segala kelemahannya masih lebih tinggi daripada alam. Sudah tentu
perjalanan hidupnya mempunyai suatu awal, namun ia mungkin telah ditakdirkan
untuk menjadi unsure permanen dalam susunan wujud ini. Ketika tertarik oleh
kekuatan-kekuatan yang ada di sekitarnya, manusia sanggup membentuk dan
berusaha untuk menguasainya.
Setiap manusia merupakan suatu pribadi atau suatu ego yang berdiri sendiri, tetapi belumlah ia menjadi pribadi yang utama. Dia yang dekat kepada Tuhan adalah yang utama. Semakin dekat semakin utama. Sedangkan semakin jauh jaraknya dari Tuhan, kian berkurang bobot kepribadiannya. Pribadi sejati bukan saja menguasai alam benda, tetapi juga dilingkupi sifat-sifat Tuhan ke dalam egonya sendiri.
Setiap manusia merupakan suatu pribadi atau suatu ego yang berdiri sendiri, tetapi belumlah ia menjadi pribadi yang utama. Dia yang dekat kepada Tuhan adalah yang utama. Semakin dekat semakin utama. Sedangkan semakin jauh jaraknya dari Tuhan, kian berkurang bobot kepribadiannya. Pribadi sejati bukan saja menguasai alam benda, tetapi juga dilingkupi sifat-sifat Tuhan ke dalam egonya sendiri.
Adapun
tentang kehidupan adalah proses yang terus maju ke depan dan esensinya ialah penciptaan
terus menerus dari gairah dan cita-cita. Penciptaan gairah dan cita-cita yang
baru tentulah selamanya mewujudkan ketegangan-ketegangan yang konstan. Menurut
Iqbal tujuan seluruh kehidupan adalah membentukinsan yang mulia, dan setiap
pribadi haruslah berusaha untuk mencapainya. Cita-cita untuk membentuk manusia
utama ini, memberikan kepada ukuran ‘baik’ dan ‘buruk’. Apa yang dapat
memperkuat pribadi adalah baik sifatnya dan apa yang melemahkan pribadi adalah
buruk sifatnya.
Hal-hal
yang dapat memperkuat ego menurut Iqbal adalah cinta kasih, semangat atau
keberanian, toleransi, tenggang rasa, hidup dengan usaha dan nafkah yang syahdan
sikap tidak mengharapkan imbalan yang akan diberikan dunia. Sedangkan hal-hal
yang melemahkan pribadi adalah takut, suka minta-minta, perbudakan dan sombong.
Salah
satu puisi Muhammad Iqbal yang berjudul Javid
Namah:
Hidup ini selalu menyongsong kesulitan
Menolak segala sikap segampang
Hidup itu selalu mencipta,
selalu meraih yang serba baru
Hidup itu laksana mengubah busana indah,
Dari saripati air dan tanah
Hidup itu memanfaatkan tangan dan kaki,
Mengfungsikan mata dan hati!
sumber :
Adian, Donny Gahral, Muhammad
Iqbal, Teraju, Bandung: 2003
Iqbal,
Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Lazuardi,
Yogyakarta: 2002
Khan, Asif
Iqbal, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal, Fajar Pustaka,
Yogyakarta: 2002
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat
Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta: 1999
0 komentar:
Posting Komentar