Hadist
tentang menjaga kehormatan diri
Hadist 1 :
وعن حكيم بن حزام رَضِيَ اللَّهُ
عَنهُ أن النبي قال: (اليد
العليا خير من اليد السفلى، وابدأ بمن تعول، وخير الصدقة عن ظهر غنىً، ومن يستعفف
يعفه اللَّه، ومن يستغن يغنه اللَّه) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Dari Hakim bin Hizam R.A. bahwasanya Nabi SAW
bersabda: "Tangan yang bagian atas -yang memberi- adalah lebih mulia
daripada tangan yang bagian bawah -yang diberi-. Dan dahulukanlah dalam
pemberian itu kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu -yakni yang wajib
dinafkahi-. Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan di luar kebutuhan -yakni
keadaan diri sendiri dan keluarga sudah dicukupi-. Barangsiapa yang
enggan meminta, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya dan
barangsiapa tidak membutuhkan pemberian manusia, maka Allah akan memberikan
kekayaan padanya." (Muttafaq 'alaih)
Sebagaimana telah
dijelaskan pada bahasan sebelumnya bahwa yang dimaksud tangan di atas adalah
tangan yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta
dan menerima pemberian. Seseorang harus lebih mengutamakan orang-orang yang
menjadi tanggungannya dalam pemberian nafkah lahir dan bathin, seperti istri,
anak, dan kedua orangtua yang membutuhkannya. Bila semua orang yang menjadi
kewajibannya telah dapat dipenuhi kebutuhannya, barulah ia bersedekah. Dan
sebaik-baik sedekah yang diberikannya adalah dengan kelebihan harta yang
dimilikinya itu. Sebaliknya, sedekah yang makruh adalah sedekah yang
dikeluarkan dari harta miliknya dengan terpaksa dan dia sendiri sangat
membutuhkannya untuk mencukupi kebutuhannya yang mendasar.
Hadist 2:
وعن ابن عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما
أن النبي قال: (لا تزال
المسألة بأحدكم حتى يلقى اللَّه تعالى وليس في وجهه مُزْعَةُ لحم) مُتَّفَقٌ
عَلَيهِ.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu 'anhuma bahwasanya
Nabi SAW bersabda: "Tidak henti-hentinya permintaan itu menghinggapi
seorang diantara engkau semua -yakni orang yang senantiasa mempunyai tabiat
suka meminta-minta itu tidak akan berhenti-, sehingga ia menemui Allah Ta'ala
-yaitu pada hari kiamat nanti- sedang di wajahnya itu tidak terdapat sepotong
dagingpun -jadi dalam keadaan sangat hina dina-." (Muttafaq 'alaih)
Hadist 3 :
وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ
قال، قال رَسُول اللَّهِ : (من سأل
الناس تكثراً فإنما يسأل جمراً فليستقل أو ليستكثر) رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Hurairah R.A., katanya:
"Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang meminta-minta kepada
orang-orang dengan maksud supaya menjadi banyak apa yang dimilikinya - jadi
sudah cukup tetapi terus saja meminta-minta-, maka sebenarnyalah orang itu
meminta bara api. Maka dari itu baiklah ia memilih hendak mempersedikitkan atau
memperbanyakkan -siksanya-." (Riwayat Muslim).
Hadis di atas dapat diartikan bahwa orang sebagaimana
yang tersebut itu yakni yang meminta-minta lebih dari keperluannya atau untuk
mencari yang sebanyak-banyaknya akan disiksa dalam neraka dan oleh Rasulullah SAW
dikiaskan sebagai orang-orang yang meminta bara api. Tetapi dapat pula
diartikan dengan makna yang sebenarnya menurut lahiriyah sabda beliau SAW,
yaitu bahwa bara api akan dimasukkan dalam seterika dan kepada orang
sebagaimana di atas itu akan diseterikakan pada punggung dan lambungnya,
seperti juga keadaan orang yang sudah berkewajiban zakat, namun enggan
mengeluarkan atau menunaikan kewajiban zakatnya. Demikianlah yang diuraikan
oleh al-Qadhi'Iyadh dalam menafsiri hadits di atas.
Hadist
4 :
وعن أبي بشر قبيصة بن المخارق
رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: تحملت حمالة فأتيت رَسُول اللَّهِ أسأله فيها فقال: (أقم حتى تأتينا
الصدقة فنأمر لك بها) ثم قال: (يا قبيصة إن المسألة لا تحل إلا لأحد ثلاثة: رجل
تحمل حمالة فحلت له المسألة حتى يصيبها ثم يمسك، ورجل أصابته جائحة اجتاحت ماله
فحلت له المسألة حتى يصيب قواماً من عيش أو قال سداداً من عيش، ورجل أصابته فاقة
حتى يقول ثلاثة من ذوي الحجى من قومه لقد أصابت فلاناً فاقة فحلت له المسألة حتى
يصيب قواماً من عيش أو قال سداداً من عيش؛ فما سواهن من المسألة يا قبيصة سحت
يأكلها صاحبها سحتا) رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Bisyr yaitu Qabishah bin al-Mukhariq
R.A., katanya: "Saya mempunyai beban sesuatu tanggungan harta -hamalah-,
lalu saya datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta sesuatu padanya guna
melunasi tanggungan itu. Beliau SAW bersabda: "Berdiamlah di sini dulu
sampai ada harta sedekah -zakat- yang datang pada kita, maka dengan harta itu
kita akan menyuruh guna diberikan padamu," selanjutnya beliau SAW
bersabda: "Hai Qabishah, sesungguhnya permintaan itu tidak boleh dilakukan
kecuali untuk salah satu dari tiga macam orang ini, yaitu: seorang yang
mempunyai beban sesuatu tanggungan harta -hamalah-, maka bolehlah ia meminta
sehingga memperoleh sejumlah harta yang diperlukan tadi, kemudian menahan diri
-jangan meminta-minta lagi-. Juga seorang yang mendapatkan sesuatu bencana, sehingga
menyebabkan kemusnahan hartanya -lalu menjadi miskin-, maka bolehlah ia
meminta, sehingga dapatlah ia memperoleh sesuatu untuk menutupi keperluan
hidupnya," atau sabda beliau: "Sesuatu untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Demikian pula seorang yang dihinggapi oleh kemelaratan, sehingga ada
tiga orang dari golongan orang-orang yang berakal di kalangan kaumnya
mengatakan: "Benar-benar si Fulan itu telah dihinggapi oleh
kemelaratan," maka orang semacam itu bolehlah meminta sehingga dapatlah ia
memperoleh sesuatu untuk menutupi keperluan hidupnya," atau sabda beliau:
"Sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya." Adapun selain tiga
macam orang tersebut di atas, maka permintaannya itu, hai Qabishah adalah
merupakan suatu perbuatan dosa yang dimakan oleh orang yang memintanya tadi
dengan memperoleh dosa." (Riwayat Muslim)
Di dalam hadist ini, diceritakan bahwa Abu Bisyr sedang
menanggung suatu tanggungan, dan ia datang kepada rasul untuk meminta sesuatu
untuk membayar utang tersebut. Lalu nabi menyuruh qabihsah untuk menunggu
harta, atau zakat terlebih dahulu yang nantinya akan dipakai, lalu nabi
memberikan sebuah nasehat, yaitu seseorang diperbolehkan meminta-minta dalam 3 keadaan :
I.
Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau
pelunasan hutang ke orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya,
kemudian berhenti.
II.
Ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia
boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
III.
Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat sehingga disaksikan oleh 3
orang berakal cerdas dari kaumnya bahwa dia tertimpa kefakiran, maka
halal baginya meminta-minta sampai dia
mendapatkan penegak bagi kehidupannya.
Dan itu merupakan beberapa
alasan yang membolehkan seseorang untuk meminta-minta, bahkan di hukum berdosa
jika tetap melakukannya, tetapi ada beberapa dalil yang membolehkan untuk
meminta-minta,
Di antara dalil-dalil
syar’i yang menunjukkan bahwa meminta-minta (sumbangan) untuk kepentingan agama dan
kemaslahatan kaum muslimin itu diperbolehkan adalah pesan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam kepada para pemimpin perang ketika sebelum berangkat,
yaitu sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam:
فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ
مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَقَاتِلْهُمْ
“ Jika mereka
(orang-orang kafir yang diperangi, pent)
tidak mau masuk Islam maka mintalah Al-Jizyah dari
mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi,
pen) mereka! Jika mereka tidak mau
menyerahkan Al-Jizyah maka mintalah pertolongan kepada Allah dan
perangilah mereka!”.
Maka dari hadits di atas
kita dapat mengambil pelajaran bahwa meminta Al-Jizyah dari
orang-orang kafir tidak termasuk tasawwul
(mengemis atau meminta-minta yang dilarang) karena Al-Jizyah
bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kaum muslimin.
Termasuk dalam
pengertian meminta bantuan untuk kepentingan
kaum muslimin adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk
membuatkan beliau mimbar. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi Radhiyallaahu ‘anhuberkata:
بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى امْرَأَةٍ أَنْ مُرِى
غُلاَمَكِ النَّجَّارَ يَعْمَلْ لِى أَعْوَادًا أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ
“Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah mengutus kepada seorang wanita: “Perintahkan
anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku
bisa duduk di atasnya!”
Al-Imam
Al-Bukhari Rahimahullah berkata: “Bab:Meminta bantuan
kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar
dan masjid”
Al-Imam Ibnu
Baththal Rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini
terdapat pelajaran tentang bolehnya meminta bantuan
kepada ahli pertukangan dan ahli kekayaan untuk segala hal yang
manfaatnya meliputi kaum muslimin. Dan orang-orang yang bersegera melakukannya
adalah disyukuri usahanya”.
Sehingga dengan
demikian, kita boleh mengatakan: “Bantulah aku membangun masjid
ini atau madrasah ini dan sebagainya”. Atau
meminta sumbangan kepada kaum muslimin yang mampu untuk membangun masjid, madrasah
dan sebagainya.
Dan dalam suatu hadist nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, dimana kita
tidak boleh merendahkan harga diri kita didepan orang yang lebih kaya, atau
semacamnya. Yang artinya “ Barangsiapa merengek-rengek pada orang kaya, meminta
apa yang ada pada tangan mereka, maka telah hilang separuh agamanya”.
B.
Al-‘Iffah
Al-‘Iffah (menjaga kehormatan diri) adalah salah satu
akhlak yang mulia. Jika seorang hamba menghias dirinya dengan akhlak ini maka
dia akan dicintakan oleh Allah SWT dan juga disayangi oleh ramai orang.
Lebih khusus lagi, yang dimaksud dengan al-‘Iffah adalah
sikap yang dapat menjaga seseorang dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa,
baik yang dapat dilakukan oleh tangan, lisan atau kemasyhurannya. Lebih dari
itu, dengan sikap al-‘Iffah ini seseorang akan berusaha meninggalkan hal-hal
yang sebenarnya dibolehkan untuknya, namun kerana untuk melindungi diri dari
hal-hal yang tidak pantas, maka ia rela untuk meninggalkannya.
Dengan demikian, seorang
yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan
walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلْيَسْتَعْفِفِ
الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan orang-orang yang
belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah
menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” (An-Nur: 33)
Termasuk dalam makna ‘iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada
manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ
أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ
“Orang yang tidak tahu
menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang yang berkecukupan
karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).”
(Al-Baqarah: 273)
Baginda Rasulullah SAW sangat menganjurkan sikap
al-‘Iffah karena dengan sikap ini seorang Muslim dapat menjaga kehormatan dan
kemuliaan dirinya.
Sikap al-‘Iffah ini sangat penting bagi
keperibadian seseorang, sehingga Allah menyebutkan kata “al-‘Iffah” dan kata
yang berasal dari kata asasnya berulang-ulang di berbagai tempat dalam
al-Qur’an. menyebutkan kata ini lebih dari satu kali dalam al-Qur’an, bukan
hanya sekedar sebagai pengulangan, namun menyebutkannya dalam berbagai tempat
juga disertai dengan kandungan bentuk sikap al-‘Iffah dalam kehidupan manusia.
Persaingan hidup yang
semakin tinggi dan keras banyak memunculkan perilaku umat yang melanggar
batasan syariat. Bila perbuatan suka meminta-minta sudah bisa menyebabkan
kemuliaan seseorang jatuh, maka yang lebih berat dari sekedar meminta-minta
–seperti korupsi, mencuri, merampok, dsb.– lebih menghinakan pelakunya. Namun
toh perbuatan tersebut semakin banyak dilakukan. Termasuk maraknya perilaku
kaum wanita, hanya demi menginginkan enaknya hidup, mereka rela melakukan
perbuatan yang menghilangkan kemuliaan mereka. Padahal agama ini telah
menuntunkan agar mereka senantiasa menjaga kemuliaan diri mereka.
Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa orang-orang dari kalangan Anshar pernah
meminta-minta kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang
pun dari mereka yang minta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melainkan beliau berikan hingga habislah apa yang ada pada beliau. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda kepada mereka ketika itu:
مَا يَكُوْنُ عِنْدِي مِنْ
خَيْرٍ لا أدَّخِرُهُ عَنْكُمْ، وَإِنَّه مَنْ يَسْتَعِفّ يُعِفّه اللهُ، وَمَنْ
يَتَصَبَّرُ يُصَبِّرَهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَلَنْ
تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Apa yang ada padaku dari
kebaikan (harta) tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang
menahan diri dari meminta-minta maka Allah akan memelihara dan menjaganya, dan
siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta maka Allah akan menjadikannya
sabar. Dan siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya
maka Allah akan memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatu
pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari
no. 6470 dan Muslim no. 1053 )
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah mengatakan: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk ta’affuf (menahan
diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup) dan bersabar atas kesempitan
hidup dan selainnya dari kesulitan (perkara yang tidak disukai) di dunia.”
(Syarah Shahih Muslim, 7/145)
Menjadi muslim dan
muslimah yang ‘afifah bila seorang muslim dituntut untuk memiliki ‘iffah maka
demikian pula seorang muslimah. Hendaknya ia memiliki ‘iffah sehingga ia menjadi
seorang wanita yang ‘afifah, karena akhlak yang satu ini merupakan akhlak yang
tinggi, mulia dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan akhlak ini
merupakan sifat hamba-hamba Allah yang shalih, yang senantiasa menghadirkan
keagungan Allah dan takut akan murka dan azab-Nya. Ia juga menjadi sifat bagi
orang-orang yang selalu mencari keridhaan dan pahala-Nya.
Berkaitan dengan ‘iffah
ini, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh seorang
muslimah untuk menjaga kehormatan diri, di antaranya:
Pertama: Menundukkan
pandangan mata (ghadhul bashar) dan menjaga kemaluannya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَقٌلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ
“Katakanlah kepada
wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan
menjaga kemaluan mereka…” (An-Nur: 31)
Asy-Syaikh Muhammad Amin
Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan kaum
mukminin dan mukminat untuk menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga
kemaluan mereka. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari perbuatan
zina, liwath (homoseksual) dan lesbian, dan juga menjaganya dengan tidak
menampakkan dan menyingkapnya di hadapan manusia.” (Adhwa-ul Bayan, 6/186)
Kedua: Tidak bepergian
jauh (safar) sendirian tanpa didampingi mahramnya yang akan menjaga dan
melindunginya dari gangguan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِر امرَأَةٌ
إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang
wanita safar kecuali didampingi mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim
no. 1341)
Ketiga: Tidak berjabat
tangan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Karena bersentuhan dengan lawan
jenis akan membangkitkan gejolak di dalam jiwa yang akan membuat hati itu
condong kepada perbuatan keji dan hina.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Abdillah bin Baz rahimahullah berkata: “Secara mutlak tidak boleh berjabat
tangan dengan wanita yang bukan mahram, sama saja apakah wanita itu masih muda
ataupun sudah tua. Dan sama saja apakah lelaki yang berjabat tangan denganya
itu masih muda atau kakek tua. Karena berjabat tangan seperti ini akan
menimbulkan fitnah bagi kedua pihak. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata tentang
teladan kita (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam):
مَا مَسَتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ
امْرَأَةٍ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا
“Tangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita, kecuali
tangan wanita yang dimilikinya (istri atau budak beliau).” (HR. Al-Bukhari, no.
7214) Tidak ada perbedaan antara jabat tangan yang dilakukan dengan memakai
alas/ penghalang (dengan memakai kaos tangan atau kain misalnya) ataupun tanpa
penghalang. Karena dalil dalam masalah ini sifatnya umum dan semua ini dalam
rangka menutup jalan yang mengantarkan kepada fitnah.” (Majmu’ Al-Fatawa,
1/185)
Keempat: Tidak khalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahram. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam titahnya yang agung:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
“Tidak boleh sama sekali
seorang lelaki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila bersama wanita
itu ada mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)
Kelima: Menjauh dari hal-hal yang dapat mengundang fitnah seperti mendengarkan
musik, nyanyian, menonton film, gambar yang mengumbar aurat dan semisalnya.
Seorang muslimah yang cerdas adalah yang bisa memahami akibat yang ditimbulkan
dari suatu perkara dan memahami cara-cara yang ditempuh orang-orang bodoh untuk
menyesatkan dan meyimpangkannya. Sehingga ia akan menjauhkan diri dari membeli
majalah-majalah yang rusak dan tak berfaedah, dan ia tidak akan membuang
hartanya untuk merobek kehormatan dirinya dan menghilangkan ‘iffah-nya. Karena
kehormatannya adalah sesuatu yang sangat mahal dan ‘iffah-nya adalah sesuatu
yang sangat berharga.
Memang usaha yang
dilakukan untuk sebuah ‘iffah bukanlah usaha yang ringan. Butuh perlu
perjuangan jiwa yang sungguh-sungguh dengan meminta tolong kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوا
فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut: 69)
Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk
selalu menjaga kehormatan diri (‘Iffah).Dalam sebuah sabdanya, Beliau berkata:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ عَبْدَهُ الْمُؤْمِنَ
الْفَقِيرَ الْمُتَعَفِّفَ أَبَا الْعِيَالِ
Maksudnya: “Sesungguhnya Allah SWT senang
dengan hamba-Nya yang Mukmin dan fakir namun tetap menjaga kehormatan dirinya
serta menanggung nafkah keluarganya.”[1]
Berkata sahabat Hakīm bin Hizām R.A.: “Saya
pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah SAW, dan Beliau memberikannya
kepadaku. Kemudian saya meminta kembali yang kedua kali, dan Beliau juga
mengabulkan permintaanku itu. Setelah itu Beliau berkata kepadaku:
يا حكيم إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ
فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ
بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
Maksudnya: “Wahai Hakīm, sesungguhnya harta
benda itu memang indah dan nikmat (digambarkan oleh Rasul dengan hijau dan
manis). Sesiapa mengambilnya dengan hati yang lapang (tidak terlalu berobsesi
untuk menguasainya) maka dia akan mendapatkan keberkahan harta tersebut. Dan
sesiapa mengambilnya dengan penuh berat hati (sangat berobsesi mendapatkannya
sehingga hatinya terasa sempit) maka dia tidak akan mendapatkan keberkahan
dengan harta itu, bahkan dia akan menjadi seperti orang sedang makan yang tidak
pernah kenyang. Tangan yang di atas (orang yang memberi) lebih baik daripada
tangan yang di bawah (orang yang meminta). (H. R. al-Bukhārī dan Muslim).
Yang dimaksud dengan hadith di atas adalah
setiap harta yang didapat dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama tidak
akan mendapat keberkahan. Hal itu seperti harta yang diambil dari seseorang,
sedangkan orang tersebut merasa berat untuk memberikan harta tersebut.
Jadi disimpulkan bahwa bentuk dari iffah itu
ada 3 macam :
1.
Iffah yang
berkenaan dengan bagaimana seseorang dalam pergaulan, faraj, dan yang
semcamnya. Maka seorang muslim dan muslimah harus bisa menjaga dirinya, agar
kehormatan dirinya tetap terjaga seperti tidak berpegang tangan dengan yang
bukan muhrimnya, menutup aurat dll.
2.
Iffah yang
berkenaan dengan bagaimana seseorang dalam segi meminta-minta, seseorang harus
mampu menjaga dirinya agar tidak meminta-minta, mengemis ataupun merendahkan
dirinya demi meminta-minta
3.
Iffah yang
berkenaan dengan bagaimana seseorang menjaga amanah, menjaga keprcayaan orang
lain, dengan menjaga hal tersebut berati kita telah menjaga kehormatan diri